Mantan Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Mabes Polri, Brigjend Pol (Purn) Victor Edison Simanjuntak mulai menggalang relawan anti korupsi di Sumatera Utara. Penggalangan ini menurutnya perlu mengingat pemberantasan korupsi dengan mengandalkan instansi tertentu maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menurutnya tidak akan terwujud jika kesadaran anti korupsi tidak tumbuh ditengah masyarakat.
Perwira tinggi yang mencuat setelah mengungkap kasus dugaan korupsi di Pelindo II di tahun 2015 lalu bersama pimpinannya di Bareskrim Mabes Polri Komjen Budi Waseso tersebut mengatakan, perlawanan terhadap para pelaku koruptor harus dilakukan massif seperti halnya yang dilakukan oleh para koruptor tersebut.
"Melawan para koruptor ini sangat sulit, mereka punya kekuatan yang besar sehingga harus diimbangi dengan kekuatan yang besar. Siapa itu kekuatan yang besar, ya masyarakat," katanya dalam diskusi "Membangun Mental Anti Korupsi di Sumut" yang digelar oleh DPC Bara JP, Medan, Selasa (11/10).
Dalam diskusi yang dihadiri oleh para aktivis, mahasiswa, kalangan LSM dan para jurnalis tersebut, Victor membagi beberapa pengalamannya dalam mengungkap kasus korupsi. Beberapa diantaranya yakni pengungkapan dugaan korupsi pengadaan mobile crane senilai Rp 45 miliar di Pelindo II, hingga mentersangkakan Gubernur NTT Piet Alexander Tallo pada tahun 2007 saat menjabat Kapolresta Kupang.
Secara keseluruhan menurutnya, upaya pengungkapan kasus korupsi selalu mendapat tantangan yang sangat besar. Selain karena mereka memiliki jaringan yang kuat, hal ini juga ditambah berbagai persoalan mental masyarakat yang tidak konsisten dalam menyuarakan semangat pemberantasan korupsi.
"Termasuk di Sumatera Utara, saya heran. Begitu banyaknya persoalan korupsi disini tapi masyarakatnya terkesan hanya diam dan belum menunjukkan adanya gerakan yang massif untuk mencegah korupsi," ujarnya.
Sementara itu, pengamat anggaran Sumatera Utara Elfenda Ananda mengatakan persoalan korupsi terjadi karena sistem yang belum dibenahi dengan baik di Sumatera Utara. Persoalan ini menurutnya berawal dari penyalahgunaan kekuasaan partai politik maupun kepala daerah yang menurutnya juga kerap dimanfaatkan oleh para penegak hukum yang masih ingin meraup keuntungan dengan menggunakan kekuasaannya.
"Partai politik saat ini biasanya akan memilih orang yang berduit untuk menjadi pengurus termasuk untuk diajukan sebagai calon kepala daerah. Nah, bagaimana seorang kepala daerah akan berani memotong kekuasaan mereka saat duduk sementara ia duduk karena dihunjuk oleh partai politi. Demikian pula saat kepala daerah menyampaikan laporan pengelolaan APBD, maka ia akan tersandera oleh kebijakan anggaran yang ada di dewan. Polanya seperti itu," ujarnya.
Atas kondisi ini, persoalan korupsi menurut Elfenda khususnya di Sumatera Utara diyakininya hanya bisa diselesaikan jika aparat dari pusat yang langsung turun ke daerah.
"Kita sudah melihat hal itu, sosok-sosok yang saat ini tersangka di KPK sebelumnya sudah terindikasi korupsi di Sumut. Tapi aparat penegak hukum di Sumut tidak kunjung memprosesnya higga saat ini yang dari pusat (KPK) yang turun," ungkapnya.
Sementara itu, Ketua DPC Bara JP Kota Medan, Ojak Simbolon mengatakan masyarakat di Sumatera Utara sangat menginginkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Sebab, pemerintahan yang bersih diyakini akan berdampak langsung terhadap perbaikan layanan masyarakat. Bara JP menurutnya sangat konsern dalam mengawal berbagai kebijakan pemerintah agar tidak disalahgunakan oleh para penyelenggara pemerintahan.
"Kita sangat konsern akan hal itu. Kita akan mengawal semua kebijakan pemerintah saat ini dibawah Presiden Jokowi agar kebiajakannya benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat hingga ke tingkat pelosok," demikian Ojak.[rgu]
KOMENTAR ANDA