
Sekjen Indonesia Telecommnucations User Group (IDTUG) Muhamad Jumadi mengungkapkan, kartu perdana bodong itu, yakni XL SP Combo Extra 12 dan 19 gigabyte (GB). Kartu itu beredar di pasaran pada Juni, Juli, dan Agustus, sudah dalam keadaan terdaftar.
"Registrasi kartu perdana wajib dilakukan oleh penjual di outlet resmi yang sudah terdaftar di penyelenggara layanan telekomunikasi dan memiliki identitas. Artinya pelanggan yang melakukan registrasi di outlet resmi, bukan diaktifkan oleh operator XL dengan cara back door," ujar Jumadi.
Tak hanya itu, Jumadi menyebut, dalam produk yang dikeluarkan XL Axiata lebih banyak merugikan konsumen. Pertama, kartu perdana sudah aktif sehingga mengurangi masa berlaku atau bahkan kedaluwarsa ketika digunakan. Kedua, tidak ditemukan kuota seperti yang ditawarkan, alias bodong pada sebagian besar Perdana SP Combo Extra 12 dan 19 GB.
Jumadi mensinyalir, kebohongan ini dilakukan XL Axiata untuk mendongkrak saham perusahaan yang belakangan ini terjun bebas. Berdasarkan diagram statistik Bloomberg pada Senin (5/9), saham XL Axiata dengan kode EXCL nangkring di angka Rp 2.840 per lembar.
Dia mengatakan, yang dilakukan XL melanggar Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 23/M. Kominfo/10/2005 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi dan surat edaran Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) perihal Pelaksanaan Registrasi Pelanggan Pra Bayar. "Kami minta Kementerian Telekomunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dan BRTI memanggil dan menindak tegas PT XL Axiata untuk mempertanggungjawabkan tindakannya," pintanya.
General Manager Corporate Communication XL Tri Wahyuningsih mengatakan, penilaian atas manupulasi revenue untuk mendongkrak saham perusahaan tidak benar.
"Kalau itu saya bisa bilang tidak benar. Penilaian seperti itu spekulasi sekali, itu tidak benar. Lagian kan nggak ada kaitannya kartu perdana sama saham," ujar Tri.
Soal kuota bodong, Tri mengatakan, pihaknya tengah mengkroscek distribusi dari hulu hingga hilir. Jika ditemukan kartu perdana dengan kuota tidak sesuai dengan yang ditawarkan, dia yakin karena kesalahan teknis.
Tri sepakat, semua provider harus patuh pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi. Namun, pihaknya tidak bisa menjamin kejadian di lapangan. "Misalnya ada masyarakat beli kartu perdana, terus dia minta tolong diregistrasikan ke counter pas dia beli. Otomatis yang jual kan nolong," ujarnya. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA