post image
KOMENTAR
SEPANJANG sejarah pemerintahan RI, boleh jadi baru kali ini seorang Panglima TNI berkeluh kesah. Sebuah keluh-kesah yang bisa ditafsirkan positif tapi bisa juga negatif.

Keluh-kesahnya Panglima TNI terletak pada tidak pernah adanya pasokan info dari kalangan intelijen, tentang apa yang menjadi ancaman bagi Indonesia.

"Sejak saya Kolonel...", kata Gatot Nurmantyo, Jenderal bintang empat dengan menekankan, bahwa keringnya pasokan info itu sudah berlangsung lama.

Pernyataan itu disampaikan Panglima TNI dalam wawancaranya dengan majalah "Forum", bertepatan dengan tibanya HUT TNI hari ini.

Dengan merujuk pada pangkatnya dulu yang empat tingkat di bawah pangkatnya sekarang, hal ini menandakan, ketiadaan pasokan informasi penting itu sudah cukup lama dia pandang sebagai sesuatu serius.

Mungkin hal itu terjadi sejak era pemerintahan SBY(2004-2014) atau bahkan sewaktu masih di era kepresidenan Megawati Soekarnoputri (2001-2004)

Kalau demikian keadaannya, sangat gampang mencari sebab musababnya. Tinggal kita tanya saja kepada para Jenderal yang pernah memimpin BIN (Badan Intelijen Negara). Seperti Hendropryono (era Megawati) atau Sjamsir Siregar, Sutanto (eks Kapolri) dan Marchiano Norman, semuanya di era SBY.

Tapi yang lebih mendasar dari keluhan itu, TNI dengan posisinya sekarang semestinya memerlukan perhatian. Diperlukan evaluasi. Sudah tepatkah pemposisian TNI seperti sekarang?  Karena keluhan ini menunjukan, diam-diam TNI sedang galau, tengah frustrasi atau mungkin merasa sedang berada di persimpangan jalan.

Yah, keluhan Orang Nomor Satu di Institusi Militer ini cukup menarik. Sebab Jenderal Gatot  Gatot Nurmantyo sendiri sebelumnya sudah berkali-kali menyampaikan penilaannya tentang situasi yang dihadapi Indonesia. Dimana dia seakan mengkhawatirkan bakal terjadi sesuatu bila para pemangku kepentingan tidak sadar dengan ancaman baru.

Dunia saat ini menurut Jenderal Gatot menghadapi ancaman baru berbentu proxy war, peperangan yang tidak menggunakan senjata. Dan nampaknya Indonesia tidak sadar atau siap. Dengan kata lain, Indonesia bisa dihancurkan oleh pihak tertentu melalui sistem. Dan sistem itu tidak kelihatan. Sementara si penghancur tidak harus berada dari luar. Bisa saja berada dari dalam.

Kalau meminjam pandangan Mayjen (Purn) AA Nasution, mantan Dirut Telkom, kegiatan penyelundupan narkoba bisa merupakan bagian dari proxy war.

Terjadinya polarisasi di dalam kabinet, bisa juga merupakan bagian dari pengaruh proxy war.

Terkurasnya enerji mengurus para imigran gelap yang ingin menyeberang ke Australia, juga bisa menjadi bagian dari proxy war.

Jenderal Gatot juga melancarkan kritik terhadap sejumlah politisi maupun partai politik. Karena mereka-mereka ini menurut dia yang ikut meciptakan krisis. Khususnya pernyataan para politisi yang hanya memperkeruh suasana.

Walaupun tidak menyebut nama politisi berikut partai politiknya, tetapi kritikan Panglima TNI seakan dipahami oleh semua kalangan. Dan mereka yang paham, ironisnya tidak berkata sepatah katapun. Seolah tidak mendengar adanya peringatan seorang jenderal.

Adanya peringatan Jenderal Gatot Nurmantyo menandakan, sekalipun TNI tidak lagi berpolitik, tetapi intuisi politik dan kemampuannya menganalisa situasi politik, masih tajam dan tetap jalan.

Memang tak bisa dipungkiri, peranan TNI maupun respektasi masyarakat, mengalami degradasi yang cukup signifikan. Terutama sejak terjadinya perubahan pemerintahan di tahun 1998.

Tak lama setelah perubahan rezim, TNI tidak boleh lagi berpolitik. Di parlemen tidak ada lagi Fraksi TNI (ABRI). Semua keistimewaan yang melekat di tubuh institusi TNI berikut personalianya, seakan semuanya dihapus.

Dulu di era pemerintahan Orde Baru rezim pimpinan Jenderal Soeharto, TNI selain berperan sebagai garda keamanan, secara de facto, TNI atau ABRI   juga berperan seperti sebuah partai atau kekuatan politik. Ada istilah yang paling populer pada waktu itu yakni Dwi-fungsi ABRI.

Kini segala peran TNI secara tidak disengaja, diambil alih. Dwi-fungsi ABARI dihapus. Peran-peran itu seperti diambil alih oleh kepolisian. Polri berada di atas angin ketimbang TNI.

Contoh yang paling nyata, status seorang Panglima TNI. Sekalipun membawahi tiga kepala staf Angkatan Darat, Angkat Laut dan Angkatan Udara, tetapi dia tidak punya akses langsung ke Presiden. Untuk melapor ke Presiden, seorang Panglima TNI harus melalui Menteri Pertahanan.  

Beda dengan di zaman Soeharto, seorang Panglima TNI atau ABRI setara dengan Jaksa Agung dan Gubernur Bank Indonesia. Mereka bertiga setingkat dengan Menteri. Protokol pelantikan merekapun disamakan dengan pelantikan Menteri.

Setelah perubahan, pada satu masa, Menteri Pertahanan yang menjadi atasan oleh Panglima TNI, bukanlah seorang yang berpangkat jenderal seperti di era Presiden Soeharto. Melainkan dari kalangan sipil. Diakui atau tidak, diam-diam ada terjadi kekurang cocokan, seorang Menteri Pertahanan dari sipil dengan Panglima TNI yang seorang militer karir.

Apalagi kalau Menteri Pertahanan dari sipil itu diangkat berdasarkan kriteria "political appointee".

Sejak Jenderal Soeharto tidak berkuasa, sudah empat kali  posisi Menteri Pertahanan dijabat warga sipil. Mereka masing-masing Mahfud MD, Matori Abdul Djalil (almarhum), Juwono Sudarsono dan Purnomo Yusgiantoro.

Sementara  seorang Kapolri yang tidak membawahi matra-matra seperti di TNI, justru punya akses langsung ke Presiden.

Peran dan kedudukan Polri saat ini dirasakan sangat besar. Bahkan jabatan Kepala BIN yang saat ini untuk kedua kalinya dipercayakan kepada jenderal polisi, ikut dirasakan sebagai sebuah hal yang tidak memperhitungkan keunggulan militer di dunia intelijen.

Padahal selama lebih dari 30 tahun posisi Kepala BIN atau BAKIN (sebelumnya) selalu berada di tangan militer atau TNI.

Lantas bagaimana memaknai keluhan Panglima TNI Gatot Nurmantyo tersebut?

Seharusnya pemerintah, Presiden dan seluruh pemangku kepentingan jangan menjadikan keluhan Panglima TNI itu hanya sebagai "angin lalu" saja.

Sudah pada tempatnya sorotan Panglima TNI itu direspon dengan sebuah tindakan yang konkrit. Apa dan bagaimana tindakan konkrit yang diperlukan itu, tentu TNI sendiri pasti tahu.

Kalau sejumlah kewenangannya sudah terlanjur diambil oleh Polri misalnya, segeralah kembalikan hal tersebut. Bagilah beban kerja dan tanggung jawab itu. Jangan juga Polri seperti merasa, karena UU yang ada menempatkan posisi mereka kuat seperti sekarang, lalu Polri berlindung di balik legalitas itu. Cepat atau lambat kecemburuan akan terjadi. Indikasi soal kecemburuan itu sudah beberapa kali meledak. Seperti perkelahian antara anggota Polri dan satuan TNI.

Sebaliknya walaupun perang modern, tidak lagi menggunakan senjata, tetapi tidak berarti peran TNI yang punya senjata, lantas disederhanakan.

Sebab asumsi itu sebetulnya masih bersifat sementara.

Lihat saja peperangan yang terjadi di Timur Tengah. Baik yang terjadi di Syria, khususnya dalam perebutan pengaruh di Kota Aleppo ataupun dalam rangka menghadapi ISIS.

Perang dengan senjata tetap masih ada.

Di sisi lain, sampai kapanpun, Indonesia tetap memerlukan TNI yang kuat. Bukan TNI yang "macan kertas". Khususnya menghadapi berbagai kemungkinan yang bisa terjadi di Papua atau di daerah konflik lain yang berpotensi memecah persatuan dan kesatuan bangsa.

Semoga respons terhadap keluhan Panglima TNII, belum terlambat. Dirgahayu HUT TNI 5 Oktober 2016. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Opini