Berdasarkan investigasi terhadap seluruh informasi dan kertas kerja pendukungnya, Indonesian Audit Watch ( IAW) mendesak Jaksa Agung HM Prasetyo untuk segera melakukan langkah-langkah cerdas terkait keraguan publik atas pengakuan Kejatisu bahwa mereka sudah menggunakan Kantor Akuntan Publik (KAP), dalam mengaudit investigasi kasus korupsi di Bank Sumut.
"Ironisnya, malah sekarang mereka sudah sampai mengeluarkan Daftar Pencarian Orang (DPO)" sebut Junisab Akbar Ketua IAW kepada wartawan, Rabu (28/9).
Menurut Junisab, Kejatisu sebagai penyelidik awal kasus itu sekarang menjadi penyidik yang nantinya juga akan menjadi penuntut, ternyata saat menyidik sudah menyatakan ada dugaan kerugian negara.
Lebih jauh mantan anggota DPR RI itu mempertanyakan pernyataan Kejatiau yang sempat menyebutkan bahwa penghitungan kerugian sudah dimintakan ke BPKP Sumut yang kemudian ternyata tidak demikian adanya.
"Anehnya, dengan berbagai alasan mereka kemudian menyatakan sudah menghitung kerugian itu menggunakan KAP. Sebegitu nyaris absolutnya Kejatisu," tandasnya.
Diungkapkannya juga, KPK saja hanya sampai pada fase penyelidikan, penyidikan (dilakukan unsur petugasnya yang berasal dari Polisi, Jaksa atau umum), lalu penuntutan dilakukan oleh Jaksa KPK sendiri. Tapi untuk menghitung kerugian ternyata KPK tetap memakai auditor BPK RI atau BPKP, bukan KAP.
"Menggunakan jasa KAP yang profesional pasti berbayar, itu bersumber dari pengguna jasanya, sebab jika tidak berbayar KAP itu tidak profesional sesuai dengan kode etik Akuntan. Dan KAP yang profesional harus mempunyai ikatan hukum perdata terhadap pengguna jasanya serta terkait objek yang di auditnya. Jika tidak demikian, maka hal itu tidak bisa disebut profesional, apalagi untuk bisa dikategorikan patut mewakili akuntan publik" ujarnya menyesalkan.
Yang patut dipertanyakan kepada jaksa agung, sambungnya, adalah sebagai berikut: apa landasan hukum Kejatisu menggunakan jasa KAP yang berbayar tersebut? Dari mana sumber biayanya? Jika tidak berbayar, lantas apa kepentingan KAP itu terhadap Kejatisu dan objek audit tersebut? Apakah Jagung sudah fasih atau tidak soal etika KAP sehingga seperti mendiamkannya?
"Apakah Jaksa agung tidak juga belajar saat mengotot bertamengkan penghitungan sendiri dalam kasus VLCC Laksamana Sukardi dan kasus Bank Bukopin yang tetap segar dalam ingatan publik" pungkasnya.
Karena itu, kata Junisab, kami akan terus memantau kasus audit ini dan bersiap untuk menempuh upaya hukum ke Dewan Etik Ikatan Akuntan Indonesia agar Akuntan seperti itu tidak mudah disimpangkan untuk melawan perundang-undangan.
Sementara, terkait hal ini juga, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Drs. Hasan Sakti Siregar M.Si,Ak,CA pernah mengatakan, tidak ada masalah jika kantor akuntan public (KAP) yang merupakan lembaga independent asal berfungsi sebagai independent impact (independent dalam kenyataan), independent in hepirent (independent dalam pengelihatan orang lain), "Jadi kalau kedua independensi ini tidak dipenuhi, maka KAP yang bersangkutan tidak dibenarkan memberikan pernyataan pendapat terutama mengenai laporan kewajaran laporan keuangan," ucap Sakti Siregar saat ditemui di kampus USU, Senin (26/9)
Karena pihak yang paling berkompeten untuk itu adalah BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan diatur dalam UU UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945 pasal 23E ayat (1) yang menyatakan bahwa: "Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri,"
Sakti menilai BPK yang lingkup kerjaan terlalu luas sementara dana yang tersedia dan SDM tidak memadai, maka BPK bisa meminta bantuan dari BPK-P. Sementara BPK-P bisa saja meminta bantuan kepada akuntan publik.[rgu]
KOMENTAR ANDA