Indonesia menjadikan pemilihan umum sebagai praktik berdemokrasi untuk menentukan pemimpinnya, mulai dari negara, daerah, kota hingga desa.
Pemilihan umum atau yang biasa disingkat dengan pemilu itu selalu digadang menjadi sebuah pesta yang akan dinikmati dan dimiliki rakyat. Setiap masa pemilu datang, jargon 'Pemilu adalah Pesta Rakyat' sering keluar dari mulut para politikus.
Menurut penilaian pegiat budaya sekaligus Inisiator Boemi Poetera, Tengku Zainuddin, jargon 'Pemilu adalah Pesta Rakyat' tidak lagi memiliki esensi di kehidupan nyata.
"Kalau dalam konsepsinya, itu pesta rakyat. Tapi sebenarnya itu pestanya politikus," katanya saat dihubungi MedanBagus.com via telepon selular, Kamis (22/9).
Zainuddin menjelaskan, hal tersebut disebabkan oleh besarnya uang yang dihabiskan saat pemilu digelar hingga akhirnya melibatkan pemodal di dalamnya.
"Pemilihan umum itu bentuk demokrasi, tapi sifatnya pesta. dalam sudut pandag budaya, besarnya uang yang dihamburkan saat pemilu digelar menjadikan para pemodal dilibatkan," jelasnya.
Zainuddin juga mengatakan bahwa praktik politik uang tidak bisa ditampik adanya ketika pemilu digelar.
"Jangan bilang tidak ada money politik. Dalam konsepsi budaya, dapat dilihat bahwa ada pemodal, ada pekerja, ada rapat-rapat, makanya ada deal politik. Itu hanya sebatas berpestanya politus," demikian Tengku Zainuddin.[sfj]
KOMENTAR ANDA