Kejaksaan sebagai instrumen penyidik dibawah presiden terbukti sudah sangat berani menyingkirkan keberadaan fungsi dari Badan Pemeriksa Keuangn (BPK) RI sebagai lembaga tinggi negara dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Tudingan itu tentu tidaklah berlebihan, karena Itu nyata terlihat dalam penghitungan kerugian negara pada kasus dugaan korupsi di Bank Sumut yang ditangani Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu), hingga akhirnya ditetapkan 5 orang tersangka.
"Kejatisu kemarin diberbagai media hari inj mengumumkan pelimpahan kasus tersebut ke pengadilan Tipikor Medan menyebut bahwa mereka menggunakan pihak swasta yakni kantor akuntan publik (KAP) tanpa menggunakan fungsi BPK RI dan BPKP pada kasus pengadaan kendaraan dinas dan operasional bank Sumut," kata Ketua Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) sebut Junisab Akbar, Kamis (22/9).
Bagi kalangan yang bergelut dalam audit keuangan negara, lanjut Junisab, pernyataan yang sangat jauh bertentangan terhadap UU BPK itu patut untuk disesalkan.
"Apa guna UU itu dibuat oleh Presiden bersama dengan DPR RI jikalau Kejaksaan tidak mengikutinya?," ujarnya.
Lalu, sambungnya, bagaimana dengan keberadaan BPKP? Apa memang Kejaksaan sudah siap berbenturan terhadap kewenangan Presiden yang didistribusikan kepada BPKP?
"Kebiasaan yang selama ini diterapkan oleh penyidik Kepolisian, Kejaksaan itu sendiri dan KPK yang menghitung kerugian negara dalam kasus selama ini jadi seperti apa?," tanya mantan anggota Komisi III DPR RI tersebut.
Belum lagi kita berbicara teknis, bagaimana dengan kualifikasi KAP, KAP mana saja yang bisa, siapa yang berhak menentukan KAP, anggaran menggunakan jasa KAP itu dari APBN atau dari mana, dan bagaimana kekuatan hukum LHP KAP yang sumber dananya tidak dari uang negara mengikat atau tidak. Belum lagi bahwa hakikat fungsi KAP bukan untuk menghitung keuangan pihak lain, dia menghitung keuangan pihak yang menggunakan jasa KAP itu sendiri. Semakin runyam bukan?," tegasnya.
Junisab juga mengatakan, celah-celah kelemahan itu akan sangat empuk untuk dikuliti pengacara dari pihak yang dijadikan tersangka.
"Apa itu sudah dipikirkan Kejatisu. Mereka penyidik sekaligus penuntut lho, jika kasus yang mereka tuduhkan telak kalah maka akan mempermalukan pemerintah. Bukan hanya mereka yang malu. Jikalau memang pola Kejatisu itu yang akan diterapkan Kejagung ke depan, maka saran kami segera saja Presiden membubarkan BPKP dan bersama DPR RI segera merevisi UU BPK agar mereka tidak menghitung kerugian negara dalam kasus yang dididik oleh penyidik Polisi, Jaksa dan KPK," kecamnya.
Namun, tambahnya lagi, jikalau Presiden dan DPR RI melihat urgensi BPK RI dan BPKP masih diperlukan negara, maka sebaiknya Presiden harus 'merevisi' keberadaan dari Kejagung. Itu menurut kami solusi yang bijak agar instrumen pemerintah itu tidak merepotkan sistem kenegaraan kita.
"Sembari menunggu keputusan pemerintah dan DPR RI maka perilaku yang ditampilkan Kejatisu itu sendiri bagi kami merupakan lompatan yang sangat berani dalam melampaui kewenangan Jaksa Agung nya. Maka hal itu menjadi suatu kepatutan bagi Komisi Kejaksaan bersama Jaksa Agung untuk memeriksanya," harapnya.[rgu]
KOMENTAR ANDA