Dalam diskusi ilmiah bertema 'Benarkah Ada Pribumi dan Non-Pribumi?'yang digelar oleh Institut Kajian Sosiologi Indonesia (IKSI) Universitas Sumatera Utara (USU) di lantai II Ruang Sidang FISIP USU, Selasa (20/9), konflik dan sentimen horizontal yang terjadi di masyarakat menjadi salah satu pokok pembahasan yang sangat disoroti.
Dr. Fikarwin Zuska mengatakan, konflik dan sentimen horizontal tersebut disebabkan oleh adanya kepentingan kekuasaan dan ekonomi.
"Konflik dan sentimen horizontal yang terjadi di masyarakat disebabkan kepentingan kekuasaan dan ekonomi," katanya.
"Etnis Tionghoa yang selama ini dianggap sebagai nonpribumi, ternyata mayoritas berada di kelas ekonomi atas. Hal ini
tentu menimbulkan kecumburuan bagi masyarakat yang katanya pribumi," sambungnya.
Menurut Dr. Fikarwin, cara paling mudah untuk meredam bibit –bibit konflik horizontal tersebut adalah dengan menahan diri untuk tidak menunjukkan kelimpahan ekonomi secara demonstratif atau berlebihan.
"Daripada menunjukkan kelimpahan ekonomi, lebih baik kelas atas menyalurkan kelimpahan ekonominya pada masyarakat kurang mampu," jelasnya.
Sedangkan menurut seorang pembicara lainnya, Jimmi Iskandar MBA yang menjadi perwakilan dari masyarakat Tionghoa, pandangan negatif antara masyarakat Tionghoa dan non-Tionghoa harus direkonstruksi.
"Inilah yang harus direkonstruksi. Sebagai bangsa Indonesia kita harus merasa bersaudara dan tidak saling membangun benteng satu sama lain," demikian Jimmi.[sfj]
KOMENTAR ANDA