Tax Amnesty harus dilihat sebagai hak yang akan digunakan semua wajib pajak untuk melaporkan kekayaannya, karena di sana ada unsur "pengampunan". Tetapi pada kenyataannya, pelaksanaan tax amnesty terkesan lambat dan ada kemungkinan tak mencapai target.
Isu ini juga menjadi salah satu keprihatinan dari ulama terkemuka Indonesia, KH Salahuddin Wahid, yang mengamati perkembangan situasi negara dan bangsa.
Pemikiran dari Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, itu terungkap dalam dalam pertemuannya dengan Ketua Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa), AM Putut Prabantoro, di Jakarta, kemarin.
"Pertanyaan utama dan pertama yang harus diajukan adalah mengapa pelaksanaan tax amnesty terkesan lambat dan target yang tercapai jauh dari yang diharapkan? Padahal di situ ada pengampunan pajak bagi para wajib pajak, terutama yang uangnya parkir di luar negeri. Kalau kata lambat tidak tepat dipakai, saya cenderung mengatakan, berjalan tidak semestinya,” ujar Kiai yang dikenal dengan sebutan Gus Solah itu.
Menurut Gus Solah, faktor utama penyebab lambatnya pelaksanaan tax amnesty adalah sosialisasi informasi yang kurang tepat mengenai tax amnesty kepada wajib pajak. Ada banyak distorsi informasi terkait tax amnesty di media sosial yang menyebabkan wajib pajak merasa kebingungan untuk membedakan informasi yang benar dan salah. Bahkan ada kemunculan rasa takut wajib pajak bahwa tax amnesty terkesan sebagai pintu masuk untuk menghukum orang.
Selain itu, ditambahkan oleh sesepuh Nahdlatul Ulama itu, ada kesan perlakuan berbeda yang diterapkan pemerintah terhadap wajib pajak yang merupakan golongan "pengemplang" pajak dan wajib pajak lain yang bukan "pengemplang". Sehingga dalam posisi ini, pemerintah dinilai melakukan ketidakadilan dalam pelaksanaan tax amnesty.
"Hingga saat ini saya tidak tahu berapa persen dana yang tadinya parkir di luar negeri dan sudah masuk ke Indonesia. Selain itu, yang perlu dipertanyakan lebih lanjut adalah, uang yang sudah masuk ke Indonesia akan diapakan? Bukan hanya soal pajaknya yang dibayarkan, tetapi juga uangnya akan dikemakanakan?" tanya cucu pendiri Nahdlatul Ulama itu.
Gus Solah mengingatkan dan juga merasa miris bahwa negara sebesar Indonesia tidak lebih kaya daripada Singapura ataupun Malaysia. Bahkan dalam pengumpulan pajaknya, Indonesia jauh di bawah dengan Belanda, sebagai contoh, yang besar negaranya hanya seluas Jawa Timur.
Diingatkannya bahwa pajak ibarat darah bagi pembangunan ekonomi. Dan, untuk melanjutkan pembangunan Indonesia dibutuhkan banyak darah segar yang diharapkan dapat diperoleh melalui tax amnesty. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA