WAK ONG pulang kampung dengan perasaan rindu dendam. Tak lama setelah kejatuhan rezim Soeharto, Wak Ong memutuskan berhenti berpetualang. Lelaki yang telah mencecahkan kaki ke hampir setiap tempat di Indonesia ini akhirnya menghentikan perantauannya dan memilih menetap untuk meneruskan usaha keluarga yang diwarisi Bendaharo Katung di Binjai.
Bendaharo Katung bukan orang biasa. Pada masanya, ayah dari Wak Ong ini pun cukup dikenal. Sebagai generasi awal di Kampung Bonjol, Bendaharo Katung disegani sebagai orang yang dituakan. Meninggalkan Pariaman sejak meletusnya perang Sisingamangaraja, Bendaharo Katung kecil dibawa serta orangtuanya melintasi gugusan Bukita Barisan. Di Meulaboh, Katung kecil pun harus hidup dalam era pergolakan revolusi.
Pertempuran pula yang akhirnya membawa Bendaharo Katung ke tanah Langkat pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Di tempat ini, Katung membesarkan putra putrinya.
Maka, dari riwayat perjalanan hidup sang ayah, Wak Ong yang merupakan anak terakhir dari 10 bersaudara ini pun melanjutkan kisah dan riwayat hidup keluarga besarnya.
Melanjutkan riwayat keluarganya bisa juga dilakukan dengan meneruskan apa yang sudah ada. Dari sekian banyak hal, meneruskan usaha potong ayam adalah upaya meneruskan kisah keberadaan Bendaharo Katung di Kota Binjai.
Maka di pasar Tavip lah, Wak Ong memutuskan akan mengakhiri petualangannya. Lebih dari 15 tahun lalu, Wak Ong memulai usaha keluarga yang sempat diambil alih oleh janda abang keduanya.
Hidup lebih damai ternyata dirasakan di kampung halaman sendiri. Pelan-pelan, usaha baru yang digeluti Wak Ong mulai membuahkan hasil. Kehidupan ekonominya mulai merangkak stabil seiring dengan dimulainya era pemerintahan baru. Saya, di era itu, banyak lahir jagoan-jagoan pasar yang kehilangan induk semang. Kekuasaan berganti, demikian pula dengan preman yang merupakan penggerak roda kekuasaan, ikut berganti.
Suatu kali, 15 tahun yang lalu, seorang anak muda mendatangi lapak tempat Wak Ong berdagang ayam. Dengan pongah, anak muda itu memungut uang preman kepada Wak Ong.
15 Tahun lalu, Wak Ong yang baru saja memulai kehidupan baru, diundang untuk kembali kepada kehidupannya semasa di perantauan. Darah Wak Ong menggelegak. Kesabaran sudah habis. Maka dengan satu dua jurus dia rubuhkan anak muda itu. Dengan sebilah pisau pemotong ayam, Wak Ong melampiaskan kemarahan. Sang preman pun lari lintang pukang sambil menahan perih di pahanya karena sabetan pisau Wak Ong.
"Preman baru, dia tak kenal saya," desis Wak Ong.
Besoknya, sekumpulan anak muda mendatangi Wak Ong yang tengah memotong ayam. Dengan bringas mereka mengejar dan menghajar Wak Ong. Mereka sukses membalaskan dendam. Sementara wak Ong, sejak itu, kesehatan telinganya kian memburuk.
"Telinga ini tak lagi bisa mendengar karena perbuatan sekelompok anak muda yang kehilangan kesadaran," kata Wak Ong.
15 tahun silam, adalah adalah awal jalan kesunyian bagi Wak Ong. Pasalnya, sejak pengeroyokan itu, Wak Ong benar-benar tak bisa mendengar. 15 tahun silam, adalah awal jalan kesunyian bagi Wak Ong. Karena sejak itu, dia memusuhi obat-obatan terlarang yang telah membuat anak-anak muda yang mengeroyoknya menjadi kesetanan.
15 Tahun silam, di dalam keheningan yang dialaminya, Wak Ong memulai pergerakannya, yakni memusuhi narkoba. (bersambung)
KOMENTAR ANDA