Menyikapi dinamika politik dan sosial-kemasyarakatan yang terus bergulir mengiringi rangkaian proses Pilkada DKI Jakarta, GERAK’S INDONESIA (Gerakan Rebut Jakarta Selamatkan Indonesia) mengajak kepada seluruh kelas menengah di Ibukota, yang memiliki kesadaran sejarah yang benar tentang kota Jakarta, agar menularkan kesadaran sejarah yang benar itu kepada masyarakat luas di Jakarta.
Terutama tentang cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 yang harus diwujudkan di level sebuah ibukota. Serta seperti apa dan bagaimana para Bapak Pendiri Bangsa, khususnya Bung Karno, memberikan landasan-landasan penting dan spirit yang harus terus diwujudkan dalam pembangunan Ibukota Jakarta seiring perkembangan yang ada di era kekinian.
“Mereka, kelas menengah dan para intelektual berpikiran maju yang setia pada cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, kami yakin tentu masih ada, ditengah gejala terus merebaknya kelompok kelas menengah dan intelektual yang berdiam diri, maupun yang cara berpikir dan sepak terjangnya justru bertolak belakang dengan cita-cita proklamasi dan landasan-landasan awal yang diletakkan para bapak pendiri bangsa ketika mengawali pembangunan kota Jakarta," kata Sekjen GERAK'S INDONESIA, Nanang Djamaludin dalam rilisnya pada Jumat (2/9).
Kelas menengah dan intelektual berpikiran maju dan setia pada cita-cita Proklamasi itu, lanjutnya, harus bergandengan tangan dalam rangka bersama-sama menyegarkan kembali dan menggemuruhkan narasi-narasi dan praxis dari semangat cita-cita Proklamasi yang diterjemahkan dalam kehidupan kekinian ibukota Jakarta, seraya melawan kebijakan-kebijakan yang terindikasi anti semangat cita-cita Proklamasi yang banyak didemontrasikan oleh Ahok selama menjabat Gubernur DKI Jakarta.
"Kebijakan pembangunan ibukota di era Ahok terus saja menjauh dari khittah yang diletakkan oleh para Bapak Pendiri Bangsa dalam membangun kota Jakarta. Salah satu contoh adalah penggusuran semena-mena terhadap wong cilik dan kaum marhaen yang terus saja berlangsung di era Ahok ini," jelasnya.
Di bawah rejim Ahok, lanjutnya, pembangunan yang dijalankan lebih menonjol untuk kepentingan kaum modal dan orang-orang kaya semata. Sementara rakyat kecil banyak yang digusur karena dianggap mengganggu pemandangan dan keamanan para kaum modal dan jaringan oligarki penopangnya. Termasuk sekelompok kelas menengah dan intelektual, yang sadar atau tidak, telah 'murtad' dari semangat mewujudkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dengan rela menjadi perkakas pelengkap kaum modal dan bonekanya.
“Dalam kasus reklamasi, misalnya, lewat analisis atas oligarki kekuasaan kaum modal, maka agak sulit bagi Ahok berkelit bahwa dirinya merupakan refresentasi boneka para taipan dan kaum modal, yang membantu melapangkan jalan bagi perwujudan disain model pembangunan Jakarta agar sesuai dengan selera-selera, hasrat-hasrat, dan hobi—hobi para taipan dan kaum modal itu. Sehingga keuntungan bisa mereka keruk sebesar-besarnya, dan masa bodoh dengan nasib dan penghidupan wong cilik dan kaum marhaen, serta kelestarian lingkungan hidup,” papar Nanang yang juga penggiat di Komunitas Intelektual Aktivis 98 (KIAT 98) itu.
"Dan jika terus kita dibiarkan, tambahnya, betapa berbahayanya kondisi kekinian dan masa depan DKI Jakarta di bawah Ahok, bila diperhadap-hadapkan dengan semangat cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan landasan awal pembangunan Jakarta yang telah diletakkan para Bapak Pendiri Bangsa, yang justru menghendaki pembangunan Jakarta untuk seluruh rakyat Jakarta secara adil dan berkelanjutan. Bukan untuk segelintir para taipan, kaum modal dan orang kaya semata!" tambahnya.[sfj]
KOMENTAR ANDA