Persoalan dugaan korupsi pengadaan lahan pembangunan rumah susun sewa sederhana (Rusunawa) di Sibolga memasuki babak baru. Adely Lis yang kini ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tersebut resmi melaporkan Walikota Sibolga, Syarfi Hutauruk ke Polda Sumatera Utara karena dinilai melakukan pemalsuan terhadap dokumen jual beli lahan yang menjadi sumber perkara.
Laporan ini dilakukan melalui kuasa hukumnya, Razman Arif Nasution dan diterima oleh pihak Polda Sumatera Utara dengan nomor laporan STTLP/1095/VIII/2016/SPKT III tertanggal 23 Agustus 2016.
"Kami mengindikasikan bahwa cukup unsur untuk melaporkan saudara Walikota Sibolga HM Syarfi Hutauruk yakni unsur pemalsuan dokumen, informasi, dan menyuruh seseorang sehingga menimbulkan kerugian dengan nilai nominal Rp 6.812.450.000," katanya, Rabu (25/8).
Razman Arif menjelaskan, dasar mereka melaporkan Syarfi adalah karena adanya perbedaan nomenklatur pembayaran lahan yang tercantum pada Surat Perintah Membayar (SPM) milik Pemko Sibolga dengan isi perjanjian jual beli antara Pemko Sibolga dalam hal ini Januar Siregar (plt Kepala Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah) dengan Adely Lis alias Juli Lis selaku pemilik lahan yang ditercatat dalam akta notaris Sarmin Ginting per 23 November 2012.
Dalam akta notaris disebutkan, pembayaran lahan seluas 7.171 m persegi dibayar dua tahapan. Pertama Rp 1,5 miliar dan tahap kedua Rp 5.312.450.000 (untuk pelunasan). Namun dalam kuitansi Surat Perintah Membayar (SPM) yang diterbitkan oleh Pemko Sibolga disebutkan pembayaran pertama tersebut ditulis dengan sebutan pengadaan lahan Rp 1,5 miliar. Demikian juga pada pembayaran kedua yakni tetap disebut pengadaan lahan Rp 5.312.450.000.
"Perbedaan inilah yang menjadi temuan," ujarnya.
Dalam hal ini, Adely Lis menurut Razman tidak mengetahui adanya perbedaan nomenklatur yang tertera di dalam akta notaris tersebut dengan kuitansi SPM milik Pemko Sibolga. Sebab, SPM tersebut baru mereka minta setelah kliennya ditetapkan sebagai tersangka di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Razman menyebutkan, kliennya dalam hal ini menjadi korban dari manipulasi pekerjaan Staff Pemko yang dipimpin oleh walikota. Apalagi menurutnya dalam undang-undang jual beli antara pihak swasta dengan pemerintah tidak boleh dilakukan dengan sistem panjar, melainkan harus pembayaran sekaligus.
"Mereka (pemko sibolga) tau itu, namun kenapa tetap mereka buat. Dalam kondisi ini, klien kami adalah korban dari tindakan manipulasi pekerjaan staff pemko dan walikota. Harus dibebaskan klien kami. Kami juga sudah mendesak agar Polda Sumut menunjuk penyidik untuk kita buktikan ini ada pemalsuan," demikian Razman.[rgu]
KOMENTAR ANDA