post image
KOMENTAR
Ruang publik yang dapat digunakan seluruh masyarakat untuk meluapkan kreatifitas berekspresi seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman. Ruang publik idealnya menjadi ruang yang jauh lebih luas daripada ruang privasi.

Namun dewasa ini, berkuasanya relasi uang dan politik di dalam setiap ruang menjadikan ruang publik tersebut semakin menyempit. Akhirnya, ruang publik yang besar tadi secara kasat mata dan di bawah alam sadar tertekan dan semakin dikuasi oleh kuasa uang dan kuasa politik.

Hal tersebut turut disampaikan oleh para pembicara dalam acara 'Diskusi Publik dan Peluncuran Antologi 250 Penyair Nusantara" Memo Anti Terorisme' yang diselenggarakan oleh Memo Penyair Nusantara bekerja sama dengan FIB USU di Gedung Serba Guna T. Amir Ridwan, FIB USU, Sabtu (20/8).

"Ruang publik semakin hari semakin sempit, yang ada hanya ruang privasi," kata Zulkarnaik Siregar.

Kuasa uang dan kuasa politik dalam ruang publik yang didalangi oleh segelintir orang-orang tak bertanggung jawab kemudian menyebabkan 90 persen masyarakat harus memperebutkan ruang-ruang publik yang tersisa. Seperti apa yang disampaikan oleh akademisi sosial, Ahmad Taufan Damanik yang juga menjadi pembicara dalam acara tersebut.

"Kita gak punya kesempatan untuk memiliki ruang sendiri. masyarakat terus menerus jadi korban. 90 persen berebut ruang untuk mempertahankan hidup, mencari yang sisa. Hingga kita setiap hari merasa susah," ungkapnya.

Disebabkan ketidakmampuan menerjemahkan apa yang sedang terjadi dan  melihat pilihan alternatif membuat kekerasan dapat terjadi dalam kontestasi memperebutkan ruang publik yang tersisa sedikit tersebut.

"Teror kekerasan terjadi karena seseorang tidak dapat menerjemahkan apa yang terjadi pada semua ini, menerjemahkan penetrasi kuasa uang dan kuasa politik. Orang terpaksa menjadi teroris karena tidak punya pilihan lain," jelas Taufan.

Sedangkan Zulkarnain Siregar yang lebih dikenal sebagai penulis dan penyair mengatakan bahwa kekerasan paling awal muncul dari sesuatu yang dianggap lumrah. Kelumrahan akan kekerasan paling awal tersebut kemudian menyebabkan masyarakat terus memproduksi kekerasan.

"Kekerasan paling awal adalah kekerasan rasa, kata. Kita banyak menggunakan kata tidak daripada iya, itu sudah kekerasan. Contoh dalam pendidikan, orang selalu bertanya nilai apa bukan bisa apa, itu kekerasan. Manusia menjadi komoditas, kita terus memproduksi kekerasan itu," papar Zulkarnain.

Dengan merasuknya kekerasan di setiap lini kehidupan masyarakat, kebudayaan harusnya dapat menjadi sebuah pilihan alternatif sebagai solusinya. Kebudayaan dapat menangkis bahkan menghilangkan kekerasan melalui sastra yang bisa saja berbentuk puisi, essay, prosa, cerpen dan lainnya.

"Dibutuhkan segera tindakan untuk memperkuat benteng ketahanan kognisi sosial. Bukan semata tindakan reaksioner-struktural tetapi juga tindakan pencegahan dini berdimensi kultural dan berorientasi pemberdayaan kesadaran publik. Selain itu, transmisi kesadaran untuk mendekati persoalan sosial tidak semata dari perspektif formal-struktural tetapi juga dari perspektif kebudayaan yang lebih meluas dapat terus digemakan," ujar Zulkarnain.

"Mari kita bumikan sastra khusunya puisi agar gagasan dalam sastra dapat sampai kepada masyarakat tanpa batas. Mari kita budayakan anti kekerasan," sambung Restuti Saragih, seorang pembicara lainnya dalam diskusi publik tersebut.
 
Untuk lebih spesifik, seorang penyair asal Solo, Sosiawan Leak menjelaskan, kekerasan dan kekacauan akan berakhir jika semua orang menempatkan diri sesuai dengan makomnya.

"Penyair itu tugasnya menyampaikan gagasan lewat puisi, dokter tugas utamanya melayani dan merawat pasien, mahasiswa tugas utamanya belajar, dosen dan guru tugas utamanya mengajar. Kalau semua menempatkan diri sesuai makomnya, aman kita ini. Gak ada kekacauan, gak ada kekerasan," jelasnya.

Apa yang dituturkan oleh para penyair di atas kemudian dikuatkan oleh Ahmad Taufan Damanik. Secara ilmu sosial ia juga mengakui bahwa sastra yang berstatus sebagai media pembangun peradaban dapat mengatasi kekerasan.

"Immanuel Kant pernah mengatakan bahwa untuk mengatasi kekerasan maka kita harus bangun peradaban, puisi salah satu upaya untuk membangun peradaban itu," tandasnya.[sfj]



 
 

 

FOSAD Nilai Sejumlah Buku Kurikulum Sastra Tak pantas Dibaca Siswa Sekolah

Sebelumnya

Cagar Budaya Berupa Bangunan Jadi Andalan Pariwisata Kota Medan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Budaya