Menjelang batas garis-mati masa pendaftaran para calon calon kepala daerah sebelum bertarung sebagai calon kepala daerah memperebutkan suara rakyat terjadi fenomena yang menarik untuk disimak. Yang diperebutkan adalah suara rakyat namun menjelang garis-akhir masa pendaftaran para cacakada (calon calon kepala daerah) terkesan malah rakyat sama sekali tidak dipedulikan.
Fenomena itu sebenarnya secara politis wajar sebab logis. Akibat untuk menjadi cakada dibutuhkan suara bukan rakyat namun suara partai politik maka para cakada sebelum bisa menjadi cakada harus sengit memperebutkan bukan suara rakyat tetapi suara parpol. Jadi sebelum Pilkada ternyata ada Pilcakada dan di Pilcakada memang yang berperan sebagai penentu adalah bukan rakyat tetapi parpol. Memang sebenarnya tersedia jalur alternatif bisa ditempuh cacakada yaitu apa yang disebut sebagai jalur independen. Maka mereka yang menempuh jalur independen dianggap sebagai para pemberani sebab berani menempuh jalur bukan parpol.
Namun setelah berulang kali terbukti bahwa cakada jalur independen kalah melawan cakada parpol ditambah kekuatiran di masa berkuasa tidak didukung parpol maka tampaknya jalur independen menjadi tidak populer bagi para cacakada pilkada 2016. Sampai ada cacakada yang semula gagah-berani menempuh jalur independen mendadak berbalik pikiran untuk menempuh jalur parpol tanpa segan apalagi malu mengkhianati rakyat yang sudah berkorban jiwaraga mendukung lewat jalur independen.
Memang apa artinya rakyat dibanding kekuasaan bagi para pemburu kekuasaan penganut paham utilitarianisme yang memang tidak segan mengorbankan segala-galanya demi meraih kekuasaan. Terhanyut di dalam arus utilitarianisme maka para cacakada siap mengorbankan segala-galanya mulai dari harta sampai harga diri demi merayu parpol yang dianggap mampu mengusung dirinya masuk ke gelanggang pertempuran pilkada secara terjamin menang. Menarik adalah menyimak bagaimana kadar rayuan terus bergerak secara terbalik terhadap daya-tawar- menawar. Makin rendah daya-tawar- menawar sang cacakada maka makin tinggi pula kadar rayuan yang wajib dilakukan sang cacakada sambil mempersetan apa yang disebut sebagai harga diri. Pada hakikatnya semua itu absah belaka selama kekuasaan memang menjadi tujuan utama perjuangan.
Dalam pilkada memang rakyat memiliki hak untuk memilih namun hak rakyat tamat pada saat yang dipilih oleh rakyat sudah berhasil duduk di tahta kekuasaan. Sudah terbukti secara empiris bahwa tahta kekuasaan selalu dipadati dengan virus amnesia. Siapa pun terpilih oleh rakyat untuk duduk di tahta kekuasaan apabila dirinya belum divaksin amnesia dan daya kekebalan batin memang rendah maka lazimnya akan menderita penyakit amnesia alias lupa segala-galanya terutama janji-janji kepada rakyat di masa kampanye.
Fenomena virus amnesia di tahta kekuasaan memang secara empiris sudah terbukti sejak para penguasa mulai sibuk mengobral janji demi memikat sanubari rakyat agar sudi memilih dirinya menjadi penguasa. Setiap kali di masa kampanye para cawal, cabup, cagub dan para wakil masing-masing sibuk bersaing mengobral janji kepada rakyat. Setiap kali setelah berhasil menjadi
walikota, bupati, gubernur dan wakil yang belum tervaksin amnesia dan berdaya kekebalan batin rendah , lazimnya langsung terserang virus amnesia. Akibat amnesia maka wajar bahwa para kepala daerah sibuk mempertahankan kekuasaan yang telah berhasil diperoleh tanpa teringat kepada janji-janji yang di masa kampanye mereka obral kepada rakyat yang memilih mereka sehingga berhasil menjadi kepala daerah. Memang rakyat selalu harus selalu siap untuk terpaksa mengikhlaskan diri diingkari oleh para penderita penyakit amnesia.***
***Penulis adalah peneliti virus amnesia di tahta kekuasaan
KOMENTAR ANDA