Ulos tidak akan punah sepanjang masyarakat Batak masih eksis dalam menjalankan adat istiadat. Demikian disampaikan dosen Antropologi FISIP USU, Rhyta Tambunan saat menyampaikan kajiannya dalam Seminar Nasional Ulos 'Kajian Akademik Tentang Pentingnya Ulos' di Aula FISIP USU.
Rhyta menjelaskan, ulos menjadi salah satu bagian penting dalam menjaga hubungan kekerabatan yang ada pada masyarakat batak yang terdiri dari Hula-Hula, Boru dan Dongan Tubu.
"Dalam acara adat, ulos merupakan hal yang menjadi simbol "kehangatan" antara tiga pihak yang pasti ditemukan dalam acara-acara adat pada masyaraka Batak," ujarnya, Jumat (5/8).
Rhyta menjelaskan ulos dalam setiap acara adat masyarakat Batak menjadi simbol pemberian yang bermakna untuk menyatakan cinta kasih antara pemberi ulos dengan yang menerima. Dengan demikian, ulos juga dapat menjadi media untuk mempersatukan dan menciptakan kedamaian sekaligus meredam konflik yang mungkin ada.
"Jadi begitu tingginya nilai ulos yang dihasilkan oleh "seniman" yang berasal dari perempuan-perempuan Batak," sebutnya.
Sayangnya menurut Rhyta, para perempuan Batak penenun Ulos saat ini sedang berada dalam kondisi memprihatinkan. Dari beberapa penelitian yang mereka lakukan, para penenun mulai meninggalkan aktifitas mereka karena alasan ekonomi.
"Ini yang menurut saya harus menjadi perhatian. Karena dalam satu penelitian, saya menerima pengakuan dari seorang penenun di Onan Runggu, Simalungun bahwa ia menyelesaikan 1 ulos dalam waktu 3 hari dengan nilai jual 45 ribu. Sementara dengan bertani ia dapat menerima upah senilai Rp 45 ribu dalam 1 hari," ungkapnya.
Kondisi ini menurut Rhyta dialami hampir semua penenun yang ditemuinya.
"Ironisnya, hasil tenunan yang sama yang saya beli pada salah satu toke ulos, harga ulos mereka seharga Rp 250 ribu, artinya masih ada kesenjangan harga mulai dari penenun hingga kepada pedagang ulos," demikian Rhyta Tambunan.[rgu]
KOMENTAR ANDA