post image
KOMENTAR
Sudah hampir 2 Tahun sejak Presiden Joko Widodo memimpin negera Indonesia dan sudah banyak pula perubahan-perubahan yang ia lakukan. Melaui revolusi mental hingga pembangunan daerah pinggiran. Salah satu keberhasilan Jokowi dalam pembangunan infrastruktur daerah adalah dengan dibangunnya transportasi massal di berbagai daerah. Berdirinya pelabuhan-pelabuhan antar pulau, bandara-bandara kecil di perbatasan, serta dibangunnya rel kereta api sebagai penghubung daerah-daerah di kepulauan besar. Upaya percepatan pembangunan infrastruktur tersebut diyakini mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Selain prioritas dalam pembangunan infrastruktur sebagai sarana peninkatan ekonomi masyrakat.
Prioritas Jokowi adalah peningkatan kualitas pemerintahan dan birokrasi. Sesuai nawa cita presiden yang ke empat yaitu menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

Namun, keberhasilan reformasi birokrasi dari program nawa cita Jokowi dianggap penulis gagal. Ada beberapa alasan kenapa penulis menganggap gagal reformasi birokrasi. Pertama, tidak ada standart baku dan susahnya masyarakat menilai keberhasilan dari reformasi birokrasi. Sebuah birokrasi yang baik tentu tidak hanya dirancang dengan sistem yang baik namun juga person birokrat yang baik. Dalam hal ini penulis mengapresiasi dimana ketika memilih calon menterinya Jokowi melakukan kerjasama dengan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), hal ini dinilai sangat baik karena benar-benar akan menyeleksi calon menteri yang mempunyai kartu kuning dan merah.

Sangat disayangkan ketika Jokowi melakukan reshufle yang pertama dan kedua ini Jokowi tidak melibatkan dua lembaga tinggi tersebut. Dari pengakuan Jokowi saat ditanya pada reshufle kabinet kerja jilid I alasan memilih 6 menteri baru tanpa melibatkan KPK dan PPATK adalah karena mereka (menteri) sudah tidak asing di masyarakat. Lalu timbul pertanyaan darimana Jokowi mengetahui tingkat ke familiar an seseorang ?. Tentu itu hanyalah jawaban politis saja.

Jika diamati, Jokowi dalam memilih menteri pada reshufle jilid satu terkesan sembrono dan asal-asalan. Terbukti dari beberapa menteri yang baru menjabat sudah diganti lagi pada reshufle jilid II. Bahkan Rizal Ramli Menko Maritim yang baru diangkat pada reshufle jilid I sudah dicopot lagi pada Reshufe Jilid II. Padahal ia sudah pernah membuktikan kebolehannya sebagai menteri pada era Presiden KH. Abdurrahman Wahid.

Hal ini membuktikan bahwa pada saat memilih menteri tidak dipertimbangkan secara matang melalui pengalaman profesionalitas serta track and record calom menteri. Selain itu dicopotnya Ignasiun Jonan dan Marwan Jafar juga sangat kontroversial karena menurut pemantauan di media sosial terutama twitter Jonan dan Marwan bersaing diurutan pertama dan kedua untuk menjadi topik yang selalu dibicarakan masyarakat. Masyarakat lebih dominan banyak membicarakan kinerja baik mereka daripada kinerja buruknya.

Dari fakta-fakta yang ada diatas maka jelas sekali bahwa penilaian Jokowi terhadap kabinetnya bersifat sangat politis. Mungkin, sebagian masyarakat sudah mulai apatis dengan pemerintahan, namun tidak sedikit pula masyarakat yang menaruh harapan besar kepada Presiden Jokowi untuk kebaikan kedepan.

Dengan kelakuan Jokowi yang asal copot dan asal pasang mneteri ini masyarakat mulai mempertanyakan kembali komitmen Jokowi dalam memperbaiki pemerintahan.***

***Ismadani Rofiul Ulya (Ketua Umum Forum Konstitusi dan Demokrasi) Jakarta

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Opini