Pihak kepolisian terlihat menggunakan konstruksi hukum pidana atas kerusuhan yang terjadi di Tanjung Balai beberapa hari lalu. Pihak kepolisian menggunakan pendekatan pasal-pasal penjarahan dan perusakan.
Namun menurut seorang pengamat publik, Shohibul Anshor Siregar, penyelesaian konflik Tanjung Balai jangan sebatas menggunakan unsur hukum pidana.
"Kelihatannya kepolisian ingin membangun konstruk hukum atas kerusuhan Tanjungbalai berdasarkan pendekatan pidana, tetapi jangan sepenuhnya. Padahal sudah ada UU Nomor 7 Tahun 2012 dan PP Nomor 2 Tahun 2015 yang mengatur tentang penyelesaian konflik Sosial," katanya kepada MedanBagus.com, Selasa (2/8).
Lanjut Shohibul Anshor, jika pihak kepolisian hanya menggunakan unsur hukum pidana, maka penanganan kasus konflik Tanjung Balai tidak akan selesai sepenuhnya.
"Padahal menurut saya, penjarahan itu dalam kasus kerusuhan Tanjungbalai samasekali tidak signifikan dan sifanta hanya iseng belaka dalam keadaan togetherness situation, situasi larut dalam kejadian. Tak ada niat dari awal, apalagi rencana, untuk mengambil barang apa pun dari lokasi yang terbakar,"
Shohibul Anshor juga menegaskan, aksi penjarahan yang berjalan spontan dan penangkapan di bawah umur tidak bisa menjadi sorotan utama.
"Tetapi kejadian-kejadian seperti itu tidak dapat dianggap menjadi sorotan utama dalam kasus ini. Apalagi menangkap anak di bawah umur,"
Reaksi publik sangat dibutuhkan sebagai pertimbangan dalam menuntaskan konflik yang terjadi.
"Ada yang wajib benar-benar diperhitungkan, yakni reaksi publik. Kita ingin penyelesaian konflik ini benar-benar tuntas, sebagaimana dulu pernah terjadi saat revolusi sosial tahun 1946 dan tahun 1980-an semasa kepemimpinan Gubsu EWP Tambunan. Waktu itu belum ada UU penyelesaian konflik, namun EWP Tambunan memelopori perdamaian pertikaian antar etnis dengan pendekatan adat dan budaya. Tuntas hingga kini tak pernah terulang," tandasnya.[sfj]
KOMENTAR ANDA