Pemerintahan RI telah melakukan eksekusi mati terhadap terpidana narkoba gelombang ketiga di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Koalisi masyarakat sipil yang sejak awal menolak eksekusi hukuman mati mengecam eksekusi ini disebabkan banyaknya kejanggalan, kesalahan prosedur, dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah.
Koalisi masyarakat sipil menggelar jumpa pers di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH), Jalan Pangeran Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (31/7).
Jaringan masyarakat sipil yang terdiri dari antara lain YLBHI, KontraS, ICJR LBH Masyarakat, Imparsial, Elsam, dan Migrant Care mengecam eksekusi mati karena beberapa alasan.
Pertama, pemerintah melakukan eksekusi di tengah banyaknya kejanggalan kasus para terpidana mati ketiga yang masuk dalam 14 list nama yang akan dieksekusi. Kejanggalan ini kemudian terkonfirmasi dengan keputusan menunda eksekusi 10 terpidana mati.
Kedua, pemerintah melanggar setidaknya satu Undang-Undang dan satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Pemerintah tetap melakukan eksekusi terpidana mati yang jelas-jelas dilindungi dalam Pasal 13 UU Grasi. Tiga terpidana mati, Sack Osmane, Humprey Jefferson, dan Freddy Budiman sedang dalam proses permohonan grasi pada saat dieksekusi.
Ketiga, pemerintah sengaja menutupi segala informasi mengenai eksekusi mati, baik keluarga dan advokat tidak mendapat informasi pasti mengenai eksekusi mati, hal ini mengakibatkan hak para terpidana mati dipertaruhkan. Tidak ada list terpidana mati yang pasti sampai dengan eksekusi, sehingga para terpidana mati tidak siap dalam melakukan upaya hukum yang masih tersedia.
Selain itu, pemerintah melanggar ketentuan UU tentang notifikasi yang mengisyaratkan eksekusi dilakukan 3x24 jam. Para terpidana mati diberikan notifikasi pada tanggal 26 Juli malam sehingga eksekusi seharusnya dilakukan pada tanggal 29 Juli malam hari, nyatanya, eksekusi dilakukan pada tanggal 29 Juli dini hari.
Keempat, dalam rencana anggaran, eksekusi dilakukan untuk 14 terpidana mati, membengkaknya anggaran terpidana mati mencapai Rp 7 miliar, namun diberitakan sudah habis digunakan padahal kegiatan belum selesai, ini dipastikan terbuang sia-sia.
Hal ini mengkonfirmasi kecurigaan jaringan masyarakat sipil bahwa anggaran eksekusi mati memang rawan pelanggaran dan penyelewengan diakibatkan kesengajaan-kesengajaan kesalahan prosedur seperti eksekusi gelombang ketiga ini bisa terjadi. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA