post image
KOMENTAR
Terjadinya kerusuhan berbau SARA di Tanjung Balai, Asahan, Sumatera Utara, Jumat (29/7) malam dipandang lembaga Indonesia Police Watch (IPW) dapat terjadi karena kurangnya kepedulian aparat keamanan setempat.

Bahkan IPW juga menyebutkan, aparat keamanan Tanjung Balai memiliki kecenderungan untuk berkolusi dengan pihak tertentu dan membiarkan perkembangan maria di daerahnya.

"Tanjungbalai sendiri tergolong sebagai daerah rawan konflik. Hal ini terjadi akibat kurang pedulinya jajaran aparat keamanan terhadap situasi sosial, bahkan cenderung berkolusi dengan pihak tertentu dan membiarkan berkembangnya mafioso di daerahnya," kata S Pane, Ketua Presidium IPW saat mengeluarkan siaran pers, Sabtu (30/7).

Lebih lanjut, S Pane menjelaskan tentang pengalaman Tanjung Balai sebagai daerah rawan konflik. Sebagai contoh, ia menyebutkan peristiwa 27 Mei 1998 dimana keturunan Cina juga menjadi korban amuk massa akibat ketoledoran aparat keamanan terhadap perkembangan mafia.

"Di Tanjung Balai misalnya, pada 27 Mei 1998 warga keturunan Cina menjadi korban amuk massa. Sebab, selama ini warga Tanjungbalai merasa diteror tokoh mafia Abie Besok Gembok yang juga keturunan Cina. Abie yang dekat dengan pimpinan parpol di Jakarta ini bisa membuat jajaran kepolisian dan militer di kota itu bertekuk lutut. Abie bebas melakukan pungutan uang keamanan ke pertokoan, menguasai penyelundupan, mengendalikan perjudian dan pelacuran, dan jajaran kepolisian membiarkannya. Sehingga sang mafioso makin bertindak semena-mena hingga membuat rakyat Tanjungbalai kesal dan mengamuk," jelasnya.

Bahkan pada 1998, kerusuhan yang terjadi di Tanjung Balai sampai mengakibatkan dihancurkannya degung DPRD oleh warga dan pada saat itu, TNI yang berhasil meredam kerusuhan.

"Kerusuhan SARA pun meletus di kota itu pada 28 Mei 1998. Ratusan rumah, toko, dan mobil di kota itu dihancurkan serta dibakar warga. Begitu juga gedung DPRD dihancurkan warga karena sebagian oknum legislatif dianggap sebagai backing mafia. Massa juga menjarah toko toko. Kerusuhan baru berakhir setelah TNI diturunkan dari berbagai kota,"

Selain tahun 1998, S Pane juga menyebut kerusuhan tahun 1946. Dengan dereta kerusuhan Tanjung Balai yang diungkapkannya tersebut, ia kembali menegaskan bahwa aparat kepolisian harus meningkatkan kepeduliannya terhadap psikologi warga.
   
"Jauh sebelumnya, 3 Maret 1946 Tanjung Balai, Asahan juga pernah dilanda amuk massa. Puluhan orang tewas. Korbannya adalah keluarga Kesultanan Asahan dan warga keturunan Cina. Kerusuhan di Tanjung Balai kemudian menjalar tanpa kendali ke berbagai daerah di Sumatera Utara, bahkan hingga ke Tanjungpura, Langkat. Sejarah panjang amuk massa ini harus jadi pembelajaran Polri. Artinya, jajaran kepolisian harus memiliki kepedulian yang tinggi dan jangan membiarkan aksi mafioso berkembang, sehingga warga tidak tertekan dan nekat melakukan amuk massa berbau SARA, seperti yang terjadi di Tanjung Balai," pungkasnya.[sfj]

LPM dan FKM USU Gelar Edukasi Kesahatan dan Pemberian Paket Covid 19

Sebelumnya

Akhyar: Pagi Tadi Satu Orang Meninggal Lagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel