Penunjukan Joko Widodo terhadap Jenderal TNI (Pur) Wiranto untuk jabatan Menko Bidang Politik, Hukum dan Keamanan langsung ditanggapi dengan respons negatif.
Jokowi diingatkan lagi tentang janjinya pada 2014 silam, yang menyatakan figur ketua umum partai politik tidak boleh merangkap menjadi menteri.
"Itu seharusnya jadi filter sederhana yang tidak bisa menempatkan Wiranto dalam jajaran menteri," kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar, kepada wartawan, Rabu (27/7)
Selain alasan sederhana itu, Kontras dalam semangat dan argumentasi hak asasi manusia (HAM), menyatakan terpilihnya Wiranto seolah menyepelekan peranan mantan Panglima ABRI itu di balik deret tragedi pelanggaran HAM berat.
Dalam catatan umum, Wiranto termasuk salah satu yang harus dituntut bertanggungjawab atas sejumlah praktik pelanggaran HAM berat sebagaimana telah disebutkan dalam sejumlah laporan Komnas HAM. Misalnya, dalam peristiwa penyerangan 27 Juli 1996, Tragedi Trisakti Mei 1998, Tragedi Semanggi I dan II, penculikan dan penghilangan aktivis pro-demokrasi 1997/1998 dan Biak Berdarah.
Yang juga tidak kalah penting adalah ketika namanya disebut-sebut dalam sebuah laporan khusus setebal 92 halaman yang dikeluarkan oleh Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bawah mandat Serious Crimes Unit, yang menyatakan bahwa Wiranto gagal untuk mempertanggungjawabkan posisi sebagai komandan tertinggi dari semua kekuatan tentara dan polisi di Timor Leste. Pernyataan lantang ini pula yang akhirnya menyulitkan Wiranto memasuki yurisdiksi internasional, salah satunya adalah Amerika Serikat (US Visa Watch List) di tahun 2003.
"Hari ini pula, hari di mana bertepatan dengan 20 tahun peringatan berdarah 27 Juli, di mana diketahui Wiranto mendapatkan posisi strategis pasca penyerbuan kantor PDI. Ia naik posisi menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dengan pangkat jenderal bintang empat," kata Haris.
"Keuntungan-keuntungan dari situasi keamanan dan politik rezim selalu memberikan ruang gerak kepada Wiranto untuk mengambil keputusan-keputusan yang berujung pada skema impunitas," ujar Haris
Dengan catatan tersebut, Kontras mempertanyakan di mana letak profesionalitas pemerintah. kontras mengingatkan, soliditas pemerintahan tidak akan terbangun di atas figur-figur rapuh yang seiring waktu harus mempertanggungjawabkan tindakannya ketika ia masih menjabat posisi-posisi penting.
"Konsep retailer cenderung menguat. Nampaknya yang solid adalah elite," kecam Haris. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA