Putusan akhir pengadilan rakyat internasional atas kejahatan kemanusiaan periode 1965 di Indonesia atau International People’s Tribunal (IPT) 1965 menyebutkan, Indonesia harus bertanggung jawab atas 10 tindakan kejahatan hak asasi manusia (HAM) berat pada 1965-1966.
Salah satu dari 10 kejahatan HAM itu ialah genosida atau tindakan sengaja untuk menghancurkan sebagian atau seluruh golongan penduduk tertentu. Kejahatan genosida ini dialami anggota, pengikut dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), serta loyalis Presiden Sukarno dan anggota Partai Nasional Indonesia (PNI).
"Tindakan pembunuhan massal, dan semua tindak pidana tidak bermoral pada peristiwa 1965 dan sesudahnya, dan kegagalan untuk mencegahnya atau menindak pelakunya, berlangsung di bawah tanggung jawab sepenuhnya Negara Indonesia," ujar Ketua Hakim IPT 1965 Zak Yacoob seperti dikutip dalam salinan putusan IPT 1965 yang dilansir CNNIndonesia, Rabu (20/7).
Hakim menyatakan Indonesia bertanggung jawab dan bersalah atas kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan atas tindakan dan perbuatan tidak manusiawi, khususnya yang dilakukan oleh pihak militer melalui sistem komando. Semua kejahatan terhadap kemanusiaan, katanya, dilakukan kepada warga masyarakat Indonesia dengan sistematis, diam-diam, tapi meluas.
Sepuluh kejahatan HAM berat yang dilakukan pada periode 1965-1966 adalah pembunuhan massal, pemusnahan, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda palsu, keterlibatan negara lain, hingga genosida.
"Semua tindakan ini merupakan bagian integral dari serangan yang menyeluruh, meluas, dan sistematis terhadap PKI, organisasi-organisasi onderbouw-nya, para pemimpinnya, anggotanya, pendukungnya, dan keluarga mereka, termasuk mereka yang bersimpati pada tujuannya, dan secara lebih luas juga terhadap orang yang tak berkaitan dengan PKI," ujar Yacoob.
Yacoob selanjutnya mengatakan, Indonesia gagal mencegah terjadinya tindakan tidak manusiawi ini, ataupun menghukum mereka yang terlibat atau melakukannya.
"Sebab jika terjadi perbuatan pidana yang dilakukan terpisah dari pemerintah, atau tindakan yang biasa disebut aksi lokal spontan, bukanlah berarti negara dibebaskan dari tanggung jawab. Negara wajib menghalangi kembali berulangnya kejadian, dan menghukum mereka yang bertanggung jawab," kata Yacoob.
Ada tiga rekomendasi dari hasil putusan pengadilan rakyat ini. Pertama, pemerintah Indonesia agar segera dan tanpa pengecualian, meminta maaf pada semua korban, penyintas, dan keluarga mereka atas tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh negara dan tindakan kejahatan lainnya yang dilakukan negara terkait peristiwa 1965.
Kedua, menyelidiki dan menuntut semua pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketiga, memastikan ada kompensasi yang setimpal dan upaya ganti rugi bagi semua korban dan penyintas.
Genosida
Hakim menyebutkan kejahatan kemanusiaan periode 1965-1966 termasuk kategori genosida. Dalam persidangan IPT 1965 pada November 2015 lalu, kejahatan kategori ini tidak dibahas dalam sidang.
Laporan putusan hakim IPT 1965 menyebutkan pihak penuntut tidak memasukkan tuntutan ini dalam tuduhan, juga tidak memungkinkan ada agenda mendengarkan kesaksian atas poin ini dalam sidang yang berlangsung selama empat hari.
Meski begitu, para hakim memutuskan mempertimbangkan pokok persoalan ini dalam putusan akhir. Dalam memutuskan kategori genosida ini, hakim mengutip Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 9 Desember 1948.
Dalam konvensi itu disebutkan genosida merupakan perbuatan terhadap bangsa, etnis, rasial atau agama dalam bentuk membunuh, menyebabkan luka-luka, dengan sengaja menimbulkan kelompok hidup dalam kerusakan fisik, upaya mencegah kelahiran atau dengan paksa mengalihkan anak-anak dari satu kelompok ke kelompok lain.
Menurut bunyi laporan ini, fakta-fakta yang dihadirkan dalam sidang pengadilan rakyat termasuk tindakan-tindakan yang disebutkan dalam Konvensi Genosida.
"Tindakan tersebut dilakukan dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut secara bagian atau keseluruhan. Hal ini juga berlaku pada kejahatan yang dilakukan pada kelompok minoritas Cina," bunyi putusan itu.
Menurut Ketua IPT 1965, Saskia E. Wieringa, kepada CNNIndonesia.com, meski Indonesia tidak meratifikasi konvensi tentang genosida, namun secara hukum internasional harus tunduk atas aturan ini.
Keterlibatan Soeharto
Putusan final juga menjelaskan detail bagaimana peran sentral Jenderal Soeharto dalam peristiwa pembantaian massal 1965 dan sesudahnya. Putusan hakim menyebutkan sejak 2 Oktober 1965, Jenderal Soeharto langsung mengambil kontrol de facto atas ibu kota dan angkatan bersenjata.
Sebuah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dibentuk pada 10 Oktober untuk menumpas PKI dan orang-orang yang diduga sebagai simpatisannya.
Pada 1 November, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai Kepala Komandan dari Kopkamtib. Dengan demikian, komando ini beroperasi di bawah perintah langsung darinya. Selanjutnya Soeharto dan kroni-kroninya segera menuding PKI sebagai dalang dari Gerakan 30 September (G30S).
"Sebuah kampanye propaganda militer yang menyebarluaskan foto-foto para jenderal yang mati dan mengklaim bahwa Partai Komunis Indonesia lah, terutama perempuan-perempuan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), yang menyiksa dan mencungkil mata atau memutilasi alat kelamin mereka sebelum meninggal," bunyi laporan itu.
Akibat propaganda ini, kekerasan dan demonstrasi terhadap orang-orang yang diduga komunis dilakukan oleh tentara dan kelompok-kelompok pemuda yang dipersenjatai dan atau didukung militer dan pemerintah. Kekerasan ini terjadi di Aceh, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, dan menyebar ke seluruh tanah air.
Pada 21 Desember 1965, Jenderal Soeharto mengeluarkan sebuah perintah (Kep-1/KOPKAM/12/1965) untuk para pimpinan militer di seluruh Indonesia untuk mengumpulkan daftar-daftar anggota PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan partai tersebut di daerahnya masing-masing.
Putusan hakim juga menyebutkan beberapa komandon militer yang dapat diminta pertanggungjawaban yakni Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban disingkat Kopkamtib periode 1965-1969, Kopkamtib 1969-akhir 1978, dan komandan wilayah setempat periode 1965-1969 dan periode 1969-1978.
Selain menyebutkan Soeharto sebagai nama perseorangan, dokumen putusan sidang tak menyebutkan nama lain dari pihak apapun.
"Bukti dokumentasi terkini mengenai pembantaian benar-benar kurang, dan tampaknya akibat ditekan oleh aparat-aparat militer," bunyi laporan itu.[rgu]
KOMENTAR ANDA