Kehadiran negara, yang direpresentasikan pemerintah, sejauh ini lebih berpihak pada kepentingan segelintir korporasi dan pemilik modal.
Hal ini dijabarkan lebih luas dalam Komunike Bersama Tokoh Nasional untuk Selamatkan NKRI. Komunike ini adalah hasil garapan Tim Perumus dari kegiatan silaturahmi para anggota WhatsApp Group Peduli Negara 1 pada 15 Juni lalu di Grand Sahid Jakarta.
Kelompok diskusi ini turut mengkaji janji Trisakti, sebagai fundamen pelaksanaan pemerintahan Jokowi dan Nawacita yang mengetengahkan kritik atas lemahnya sendi-sendi perekonomian nasional dan kepribadian bangsa. Selain itu pula, mendalami lagi konsep Revolusi Mental dan implementasinya.
Idealnya, pemikiran ideologis Jokowi ini mengarahkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019. Di sana dikatakan bahwa pembangunan nasional Indonesia lima tahun ke depan perlu memprioritaskan upaya mencapai kedaulatan pangan, kecukupan energi dan pengelolaan sumber daya maritim dan kelautan.
Seiring dengan itu, pembangunan lima tahun ke depan juga harus makin mengarah kepada kondisi peningkatan kesejahteraan berkelanjutan, warga berkepribadian dan berjiwa gotong royong, dan masyarakatnya memiliki keharmonisan antarkelompok sosial, dan postur perekonomian makin mencerminkan pertumbuhan yang berkualitas.
Faktanya, yang terjadi adalah negara tidak mampu mengendalikan perusahaan asing Freeport, sehingga mengizinkannya melanggar UU Minerba. Negara membiarkan "balon google" bebas mengambil data dan informasi spasial negara; negara tidak menjadikan masalah pesawat yang membawa orang asing mendarat di bandara domestik sebagai isu penting; negara mengobral murah sumberdaya dan potensi ekonomi kepada asing, khususnya China, tanpa memperhitungkan secara sungguh-sungguh risiko jangka panjangnya.
Negara tidak melindungi rakyat kecil, yang terlihat dari masifnya penggusuran-penggusuran demi keindahan kota. Bahkan, dalam penggusuran ini, pemerintah melibatkan TNI, yang seharusnya tidak boleh terjadi.
Dalam hal persatuan bangsa, kehadiran negara malah cenderung memecah belah, baik memecah belah partai politik, seperti Golkar dan PPP, serta memecah belah situasi tenang dengan keinginan pemerintah meminta maaf pada korban PKI. Pecah belahnya partai politik ini sejalan dengan keinginan Jokowi merangkul semua partai politik yang ada untuk masuk dalam rezim kepemimpinannya. Hal ini pada akhirnya membawa konsekuensi ketegangan politik antara partai pendukung Jokowi dengan partai-partai yang baru dirangkul.
Dalam hal komunisme, pemerintahan Jokowi terkesan memberi angin bagi bangkitnya paham ini. Sehingga, direspons dengan kekuatan kontra komunis yang semakin radikal, yang mempertajam konflik horizontal di akar rumput.
"Dari kedua situasi ini, negara yang dijanjikan Jokowi akan hadir menjadi semakin tidak jelas," demikian kutipan komunike itu.
Tim Perumus Komunike ini terdiri dari Ichsanuddin Noorsy, Syahganda Nainggolan, Buni Yani, Ferdinand Hutahaean, Samuel Lengkey, Tumpal Daniel, Djoko Edhie Abdurachman, dan M.Hatta Taliwang. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA