Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (ABNP 2016) yang sudah diketok palu terkesan terlalu ambisius.
Demikian disampaikan peneliti dari Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno, Salamuddin Daeng.
Pemerintah dan DPR menetapkan Pendapatan Negara dan Hibah dalam APBNP tahun 2016 sebesar Rp 1.786,2 triliun dan Belanja Negara ditetapkan sebesar Rp 2.082,9 triliun.
Sementara target defisit anggaran dalam APBNP tahun 2016 ditetapkan sebesar Rp 296,7 triliun (atau 2,35 persen terhadap PDB).
Salamuddin menyatakan perencanaan anggaran di atas sangat ambisius, tidak jauh berbeda sebelumnya. Mengapa demikian?
Target penerimaan negara (Rp. 1.539,2 trilun) bisa dipastikan tidak akan tercapai mengingat realisasi penerimaan pajak pemerintah sepanjang tahun 2015 hanya mencapai Rp 1.055 triliun atau 81,5 persen dari target Rp 1.294,25 triliun dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015.
"Jadi target kenaikan pajak pemerintahan Jokowo tahun 2016 mencapai 46 persen dibandingkan realisasi tahun 2015 kurang masuk akal atau kurang realistis," katanya.
Pedua, penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 245,1 triliun yang salah satunya bersumber dari penerimaan migas senilai Rp 68,7 triliun. Angka ini memang merupakan penurunan yang sangat besar dibandingkan tahun tahun sebelumnya. Sebagai contoh penerimaan migas tahun 2014 mencapai Rp. 216.9 triliun. Penerimaan negara bukan pajak secara keseluruhan mencapai Rp 400 triliun.
Jika mendasarkan penerimaan migas dan sumber daya alam sebagai indikator utama ekonomi Indonesia, penetapan target penerimaan negara Jokowi dalam APBNP 2016 sebesar Rp 1.786 triliun atau meningkat dari realisasi 2015 yaitu Rp 1.491 triliun merupakan target yang kurang masuk akal.
"Hal ini disebabkan kondisi ekonomi makin memburuk di 2016 dibandingkan tahun 2015," jelasnya.
Target utang pemerintah dalam APBNP 2016 sebesar Rp 296,7 triliun mengalami peningkatan dari APBN 2016 Rp 273,2 triliun atau meningkat sebesar 8,6 persen. Selain akan menambah beban negara di masa mendatang, juga tidak akan menutup defisit anggaran pemerintahan Jokowi yang sangat besar.
Untuk mengejar target belanja negara (Rp 2.082,9 triliun), maka pemerintah membutuhkan utang yang sangat besar. Bila melihat kondisi ekonomi sekarang, penerimaan negara dari pajak tidak akan lebih dari Rp 1.100 triliun dan penerimaan bukan pajak tidak lebih dari Rp 100 triliun.
Dengan demikian untuk mengejar target belanja negara super besar itu pemerintahan Jokowi membutuhkan utang sekitar Rp 800 triliun atau sebesar 6,9 persen dari Gross Domestic Product (GDP).
"Semoga Pak Presiden Jokowi dan Kabinetnya segera siuman, bangun dari mimpi panjang. Sudah dua tahun loh mimpinya," sindir Salamuddin. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA