post image
KOMENTAR
DENGAN sedikit penyederhanaan, krisis yang mendera saat ini tak dapat dilepaskan dari utang yang tak terkelola dengan baik sehingga ketika jatuh tempo menjerat dan bikit sekarat. Untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, utang menjadi tak terhindarkan baik dalam kontek negara maupun dalam kontek keseharian berumah tangga selama dapat dikelola dengan baik tentu berutang tidak "diharamkan."

Karena saya bukan ekonom, maka saya mencoba memahaminya dalam kerangka keseharian berumah tangga saja. Ketika saya berumah tangga tentu saya membutuhkan tempat bernaung, rumah. Sebagai orang yang menggantungkan hidup dari ‘gaji’ dan tidak memiliki simpanan atau warisan yang ruar biasa” tentu saya tidak bisa langsung membeli rumah, pilihannya mengontrak dan setiap habis harus waktu berpindah rumah dengan segala keriweuhannya.

Apakah saya akan terus menjadi "kontraktor" atau mulai mencari alterntaif dengan cara membeli rumah dengan cara mengkreditnya alias ngutang sehingga setiap bulan harus menyisihkan pendapatan untuk membayarnya. Jika saya terus mengontrak, maka sampai kapanpun saya tak akan punya rumah sehingga dalam jangka panjang utangan membeli rumah tersebut bernilai sangat baik apalagi harga rumah dan tanah biasanya cenderung akan terus merangkak sehingga cicilan tersebut menjadi semacam "tabungan."

Seiring dengan karier maka terjadi peningkatan pendapatan (growth) sehingga ada ruang untuk mencari pinjaman lain. Di saat bersamaan, kami dianugerahi anak sehingga agak repot kalau pulang kampung naik bis sehingga dirasa perlu untuk memiliki kendaraan sendiri. Sayangnya untuk memboyong sebuah mobil uangnya tak mencukupi sehingga saya hanya membayar uang mukanya alias DP sisanya dicicil dengan tenor waktu yang paling memungkinkan dan meringankan. Inilah utangan yang kedua dilakukan.

Untuk menjaga "keseimbangan fiskal rumah tangga" saya perlu mengecek terlebih dahulu apakah cicilan utang ‘menyedot’ sebagian besar pendapatan atau hanya sekira 25-30 persen pendapatan saja sehingga manageable.

Di samping itu, tersedianya kendaraan mampu membantu meningkatkan mobilitas sehingga tak masalah untuk berangkat pagi sekali sehingga sempat "mengajar" sekedar 2 SKS atau juga bisa untuk pulang lebih malam sehingga bisa dipergunakan untuk sekedar "mengajar" 3 SKS atau melakukan pekerjaan sambilan lainnya. Dengan demikian, maka sekalipun perlu membayar cicilan, kehadiran kendaraan tersebut membantu juga untuk menambah pendapatan sehingga "gerak fiskal" rumah tangga tidak terlalu berat.

Jika kendaraan tersebut tak memberikan nilai tambah, maka bukan hanya harus menanggung beban cicilan tetapi juga beban operasi dan pemeliharaan yang pada akhirnya mempersempit ruang fiskal rumah tangga.

Barangkali kondisi dalam negara juga tak akan jauh berbeda, jika utangan diinvestasikan untuk sesuatu yang produktif dan manageable tentu sangat baik dan bermanfaat namun jika utangan tersebut hanya untuk memenuhi "gaya hidup" sarupaning memoles kantor dengan beragam peralatan canggih yang tak terlalu banyak dioptimalkan atau membeli barisan kendaraan dinas, maka akan menjadi beban besar yang tak ternyana berupa biaya pemeliharaan dan operasi gedung mewah, peralatan canggih dan mobil dinas berkilau. Tentu sangat nyaman untuk sekedar menaikkan "gaya hidup" yang belum tentu berbanding lurus dengan kualitas pelayanan dan kinerja. Di samping itu, suatu saat butuh pengetatan yang akan menurunkan standar gaya hidup akan menyakitkan, bukan?

Dalam kehidupan, kadang tak diduga kita mendapat rezeki nomplok berupa bonus, promosi yang berdampak memberi tambahan tunjangan dan lain-lain sehingga kita berpeluang memenuhi kebutuhan bahkan sebagian keinginan”. Inilah saatnya berhati-hati, perlukan kita memenuhi semua keinginan” yang belum tentu suatu kebutuhan?

Ketika tabungan bertambah dan kita tergoda untuk memanfaatkan sekedar memenuhi keinginan maka itulah awal masalah, misalnya, saya ingin lebih nyaman dengan menyediakan asisten” lebih dari satu atau mengangkat sopir atau terjebak membeli barang yang tak terlalu perlu atau sekedar ingin berganti kendaraan serta berpindah rumah agar menjadi lebih elit”, atau memperluas bangunan rumah sebesar-besarnya sehingga operasi dan pemeliharaannya meroket.

Semuanya bukan investasi yang produktif sehingga alih-alih meningkatkan growth” malah menjadi beban baru yang merepotkan. Bandingkan jika kelebihan uang berupa tabungan tersebut diinvestasikan dalam usaha kecil, saham atau sekedar properti barangkali bukan hanya tidak membebani tapi juga suatu saat memberikan return yang lebih besar.

Hal seperti itu juga terjadi dalam pengelolan negara, di mana rezeki nomplok itu bisa berupa booming minyak atau mengalirnya pinjaman luar negeri yang enak ketika menerima namun berat ketika sudah tak ada atau harus mulai mencicilnya. Ketika mendapatkan gelontoran cash dari minyak, maka berbagai proyek dilakukan semisal pembangunan gedung kantor yang bermewah-mewah sehingga membutuhkan penambahan pegawai yang pada akhirnya menjadi beban negara. Sekalipun baik, berbagai proyek Inpres disebar di mana-mana sehingga dibangunlah beratus SD Inpres di tengah sawah atau di tengah bukit yang jauh dari penduduk sehingga tak terpakai dan tak bermanfaat atau beratus pasar dan terminal yang tempatnya terlalu jauh dari keramaian sehingga tak dilalui kendaraan dan orang.

Berbagai pembangunan yang baik namun kurang mempertimbangkan kesiapan komunitas karena terlalu bersifat top-down juga berdampak pada beratnya pemeliharaan hasil-hasil pembangunan di saat keuangan negara semakin menipis. Pemeliharaan pembangkit listrik yang semakin hari semaiin tak sesuai standar karena penghitungan ekonomi ketika proyek dilakukan kurang cermat dan hati-hati sehingga berbagai proyek yang ada tak mampu memenuhi target” return of investment (roi).

Hal yang sama terjadi dalam berbagai proyek infrastruktur jalan, bandara dan pelabuhan serta berbagai fasilitas umum yang semakin minim perawatannya sehingga semakin cepat kerusakannya. Hal ini tentu diperparah dengan merebaknya kroniisme yang berdampak pada ekonomi berbiaya tinggi dengan kualitas pekerjaan yang alakadarnya karena banyaknya pencari rente.

Belajar dari Nabi Yusuf

Krisis ekonomi yang terjadi mengingatkan pada pesan Allah SWT lewat kisah Nabi Yusuf yang ayatnya sering kita baca. Mimpi adanya tujuh sapi yang gemuk dan tujuh sapi yang kurus bermakna universal tentang selalu adanya masa mudah dan masa sulit alias paceklik.

Sebagai contoh, berbagai pencapaian yang dilakukan Eropa setelah revolusi Industri dulu melahirkan kemakmuran yang tak pernah terbayangkan sebelumnya sehingga berbagai fasilitas layanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan melahirkan usia harapan hidup (UHH) yang semakin tinggi. UHH yang tinggi menjadi indikator kemajuan suatu bangsa namun di sisi lain melahirkan Aging Society yang ternyata implikasi tak kalah rumit dari masalah yang sebelumnya dicoba diatasi. Aging Society ditandai dengan semakin banyaknya orang berusia di atas 60 tahun sehingga kontur demografinya mengarah pada bentuk piramida terbalik yang tentunya berdampak pada rasio ketergantungan di tingkat usia tinggi.

Bila sebelumnya itu banyak terjadi karena banyaknya bayi dan anak-anak sehingga muncul fenomena baby-booming maka sekarang bergerak pada meningkatnya jumlah orang lanjut usia. Kita bisa membayangkan, bagaimana sulit dan mahalnya merawat para lansia dibanding bayi dan anak-anak dan menjadi kewajiban kita semua untuk merawatnya yang dalam konteks negara modern ditangani negara melalui jaminan sosialnya.

Bersamaan dengan Aging Society yang tidak mudah ditangani, gaya hidup Eropa yang aristokratik” makin menurunkan daya saingnya. Pemenuhan kebutuhan jaminan sosial yang besar dan layanan dasar yang memadai tak diimbangi dengan penerimaan pemerintah karena angkatan kerja usia produktif-pun semakin menurun dan harus menanggung beban ketergantungan yang lainnya sehingga pilihan paling mudah dengan cara meminjam karena kalau pengetatan anggaran akan sangat menyakitkan. Lama kelamaan utang menumpuk dan akhirnya jatuh tempo dan gagal bayar.

Kemakmuran yang melenakan membuat masyarakat bergaya hidup mewah sehingga tak banyak tabungan dan ekspansi yang bisa dilakukan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi.

Hal ini tentu tak sejalan dengan prinsip pengelolaan fiskal yang secara substansi telah diajarkan oleh Nabi Yusuf AS ribuan tahun silam yang diabadikan dalam Al-Quran. Ada saatnya untuk panen dan sebagiannya disimpan untuk kebutuhan di saat sulit bin paceklik. "Yusuf berkata:` Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.  Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang akan kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur."

Bagaimana dengan Indonesia? Pengelolaan fiskal secara makro semakin baik namun meningkatnya jumlah pejabat yang berlipat-lipat dengan kebutuhan rumah dinas, mobil dinas dan gaya hidup model negara maju bisa menggerogoti kesehatan fiskal. Bayangkan, jika di Era Orde baru yang pertumbuhannya tinggi saja jumlah kementerian dan lembaga tak melampaui angka 50-an, saat ini jumlah kementerian dan lembaga sudah melampaui angka 100-an tinggal dikalikan pejabat setingkat Dirjen, Direktur dan jajarannya.

Kalau di Jepang yang GDP-nya puluhan kali lipat Indonesia dan didukung sektor swasta yang kuat dan solid saja jumlah menteri hanya sepuluhan dan Dirjen dan pejabat setingkat Dirjen dibatasi UU hanya 97 saja, sudah besar utangnya sehingga ada kebijakan untuk terus menurunkan jumlah PNS. Bagaimana dengan Indonesia yang Dirjen dan pejabat setingkatnya sudah melampaui angka puluhan ribu yang secara bersamaan juga memekarkan kabupaten/kota dan provinsi sehingga suatu saat APBN/APBD sebagian besar hanya untuk gaji dan tunjangan pejabat dan pegawai serta membayar cicilan utang.

Belum lagi semaraknya "pejabat khusus" baik di sekitar presiden, menteri dan juga kepala daerah seperti staf khusus, tenaga khusus, tenaga ahli dan semacamnya yang juga membutuhkan penambahan biaya khusus. Wallahu’alam. [***]

*Penulis adalah peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS), University of Groningen, The Netherlands. 

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini