Peristiwa kemacetan ekstrem di gerbang tol Brebes Timur atau kini disebut "tragedi Brexit" adalah cermin ketidakhadiran negara dalam merumuskan langkah-langkah preventif atas urusan rakyat banyak.
Tragedi Brexit mengisi halaman terkhir Ramadhan tahun 2016 yang memakan korban jiwa sebanyak 12 orang, salah satunya bayi usia setahun. Kebanyakan korban mengeluh kelelahan, pusing, mual hingga pingsan sebelum akhirnya meninggal dunia dalam perjalanan mudik.
Ketua Bidang Sosial Politik Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI, Razikin Juraid, menegaskan bahwa tragedi itu menggambarkan negara tidak tanggap dan abai terhadap kesulitan rakyat.
"Dengan segala kerumitannya, peristiwa Brexit seharusnya tidak perlu terjadi apalagi memakan korban jiwa. Pada konteks abainya negara tersebut saya menyebut kejadian itu dengan sebutan Brexit Teror atau dapat juga disebutkan teror negara alias state terror," kata Razikin, Jumat (8/7).
Ia menyesali pemerintah lebih serius menanggapi peristiwa bom bunuh diri yang menewaskan seorang pelakunya ketimbang merespons "Brexit Terror” yang hingga Selasa lalu sudah memakan nyawa 12 pemudik.
"Kami sangat menyesalkan sikap pemerintah yang terkesan menganggap remeh perisitiwa Brexit Tol. Sebaiknya pemerintah harus berani meminta maaf dan mengakui jika itu adalah kelalaian, karena mudik itu adalah rutinitas tahunan yang dapat diprediksi jauh-jauh hari sebelumnya," ucap Razikin.
Sebaiknya pemerintah tidak sibuk berdalih atau merumuskan berbagai macam alasan untuk menghindar, seolah-olah pemerintah tidak salah.
"Sangat jelas dalam hal ini pemerintah bersalah dan harus bertanggung jawab dan minta maaf. Dua belas orang meninggal itu akibat kelalaian pemerintah," tegasnya.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA