Hari-hari terakhir pemberitaan media massa ramai soal kemacetaan yang luar biasa di jalur mudik Lebaran, terutama di kawasan Brebes, Jawa Tengah yang menelan korban 12 orang meninggal dunia.
Ketua Divisi Paru Kerja dan Lingkungan Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI RSUP Persahabatan serta Ketua Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI RSUP Persahabatan menyikapi kasus itu.
Disebutkan bahwa perjalanan dengan kendaraan bermotor maupun mobil disertai kemacetan berjam-jam di jalan raya, bisa saja terjadi kembali pada saat arus balik setelah mudik. Pertanyaannya, apakah mungkin kemacetan ini meningkatkan risiko masalah kesehatan bahkan mengakibatkan kematian?
Pemudik hampir pasti dihadapkan dengan kelelahan karena perjalanan panjang, kurang istirahat, stress psikologis , asupan makanan yang tidak teratur dan tidak optimal, kepadatan populasi karena bertemu dengan banyak orang di perjalanan, kontak dengan tempat umum yang kurang higienis dan tentunya pajanan polusi udara selama di perjalanan.
"Kondisi ini akan lebih parah bila terjadi kemacetan berjam-jam di jalan yang dilalui. Masalah yang dihadapi oleh pemudik ini tentunya memberikan dampak pada tubuh dan meningkatkan risiko masalah kesehatan secara umum maupun khusus pada pernapasan dan bahkan risiko kematian. Semua orang yang mudik memiliki risiko yang sama, meskipun begitu risiko lebih tinggi pada populasi yang rentan seperti anak-anak, orang tua dan orang yang menderita penyakit kronik,” tulis mereka dalam keterangan yang diterima wartawan.
Kelelahan dan kurang istirahat akan berdampak pada masalah kesehatan. Kelelahan dan kurang tidur berhubungan dengan terjadinya penurunan daya tahan tubuh (imunitas) serta kurangnya system recovery tubuh. Penurunan daya tahan tubuh (imunitas) meningkatkan risiko terjadinya infeksi sedangkan kurangnya system recovery tubuh akan berdampak pada performa fisik seseorang. Performa fisik yang menurun berdampak pada kemampuan aktivitas fisik termasuk dalam mengemudi dan ini meningkatkan risiko kecelakaan.
Stress psikologis selama perjalanan dan kemacetan ternyata berdampak pada masalah pernapasan. Kondisi stess mengaktivasi sistem simpatis dan adrenomedullary yang berdampak pada kecenderungan kontraksi otot polos termasuk otot polos saluran napas. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penyempitan saluran napas atau bronkrokonstriksi khususnya pada populasi yang sudah ada penyakit saluran napas sebelumnya seperti asma maupun penyakit paru obstruksi kronik (PPOK). Maka risiko terjadinya serangan penyakit tersebut akan meningkat. Orang akan mengeluh sesak napas, napas berat dan bila tidak diatasi segera dapat meningkatkan risiko kematian.
Kondisi kepadatan juga meningkatkan risiko terjadinya masalah kesehatan pernapasan. Kondisi kepadatan menyebabkan terjadinya kontak dengan orang lain meningkat dan ini dapat terjadi di tempat-tempat umum selama perjalanan seperti rumah makan, rest area, SPBU dan lainnya. Ditambah dengan kondisi tempat umum yang tidak higienis serta asupan makanan yang tidak optimal. Kondisi ini diperparah oleh penurunan daya tahan tubuh karena kelelahan dan kurang isitirahat. Risiko terjadinya infeksi saluran napas meningkat seperti common cold, influenza, maupun infeksi saluran napas akut (ISPA).
Pemudik dengan kendaraan bermotor maupun mobil dihadapkan dengan peningkatan terpajan/terpapar polusi udara yang bersumber pada polusi asap kendaraan dan polutan lingkungan diperjalanan. Polusi udara mengandung bahan berupa gas dan partikel (particulate matter). Gas akibat polusi udara kendaraan bermotor terdiri atas gas iritan seperti nitrit oksida (NOx), ozon (O3), sulphur dioksid (SOx) dan gas asfiksian seperti karbondioksida (CO2) dan karbon monoksida (CO). Komponen lain dari polutan kendaraan bermotor adalah particulate matter (PM) seperti PM 10, PM 2,5 yang umumnya bersifat iritatif. Kemacetan yang terjadi saat mudik meningkatkan akumulasi bahan polutan dari kendaraan tersebut di lingkungan sekitar pemudik.
Pada ruangan tertutup, seperti dalam kabin kendaraan akumulasi gas CO2 menurunkan oksigen dalam kabin sehingga potensi kekurangan oksigen meningkat. Sedangkan gas CO apabila terhirup ke dalam saluran napas dan paru menyebabkan CO berikatan dengan sel darah merah (Hemoglobin) 300 x lebih kuat daripada Hb berikatan dengan oksigen, akibatnya darah kekurangan oksigen yang disebut hipoksemia.
Gejala yang muncul pada orang yang terhirup gas ini dari ringan seperti mual-mual, sakit kepala atau pusing. Bila akumulasi berlanjut dapat timbul sesak napas, kesadaran menurun sampai pingsan dan terakhir dapat menimbulkan kematian.
Pada populasi dengan penyakit kronik yang sudah ada sebelumnya kondisi hipoksemia dapat memperburuk penyakitnya dan menimbulkan kematian.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA