Serangan mematikan di empat negara (Turki, Bangladesh, Irak dan Arab Saudi) yang diklaim kelompok Negara Islam atau ISIS menunjukkan keterbatasan koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS) untuk melumpuhkan kelompok itu.
Tantangan untuk menghentikan serangan ISIS tidak hanya karena serangan dilakukan secara global, tetapi juga tersebar dengan pilihan tarrget yang sangat variatif.
Dalam beberapa bulan terakhir, para pejabat di AS menggambarkan serangan mematikan ISIS di seluruh dunia adalah respons langsung terhadap keberhasilan koalisi militer pimpinan AS mengusir mereka dari basisnya di Irak dan Suriah.
Para pejabat AS dan mantan petinggi militernya menyatakan sebaran pengaruh ISIS di luar wilayah kontrol mereka di Irak dan Suriah berlangsung terlalu "sederhana".
Seorang pejabat AS yang lama meneliti kelompok Islam militan, dikutip reuters, menyatakan bahwa bukti menunjukkan bahwa ISIS telah memperluas jangkauannya, merekrut dan melakukan propaganda baik dengan online maupun lewat perwakilannya di berbagai benua.
Beberapa analis mengatakan, kini ISIS lebih dekat menyerupai Al Qaeda, yang memfokuskan serangan berskala besar daripada mencoba untuk menahan wilayah kekuasaannya.
Para pejabat AS mengatakan mereka masih menganalisis hubungan antara ISIS dengan serangan 28 Juni di bandara Istanbul yang menewaskan 45 orang; serangan terhadap sebuah kafe yang sering dikunjungi oleh orang asing di Dhaka, pada Jumat lalu, yang menewaskan 20 orang; dan bom truk bunuh diri di lingkungan Syiah di Baghdad pada hari Sabtu malam lalu yang menewaskan sedikitnya 175 orang.
Terakhir yang mencengangkan adalah serangan terhadap Arab Saudi menargetkan kawasan diplomatik AS, jamaah Syiah dan kantor keamanan di sebuah masjid di kota suci Madinah.
Semua berlangsung selama bulan suci Ramadhan, yang diakhiri dengan hari raya Idul Fitri.
Serangan di Turki, Irak dan Arab Saudi diduga memiliki jaringan langsung dengan ISIS. Sedangkan serangan di Bangladesh mungkin hanya terinspirasi, namun juga memiliki akar di tingkatan lokal.
Ahli kontra terorisme mengatakan tidak ada "peluru" yang akan menghentikan gelombang serangan terhadap warga sipil secara global yang menggunakan metode serangan bom bunuh diri tunggal, bom truk hingga teknik penyanderaan.
"Tantangannya adalah tindakan dan inisiatif datang dari banyak tempat yang berbeda," kata analis terorisme yang juga bekas agen CIA, Paul Pillar.
Dia menyebut, kerjasama diplomatik yang lebih erat, berbagi informasi intelijen dan pelacakan arus uang dari jaringan terorisme adalah yang terpenting saat ini.
"Kami selalu menegaskan bahwa kampanye militer tidak cukup untuk mengalahkan ISIS atau untuk menghapus ancaman yang menimbulkan," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, John Kirby.
"Kampanye holistik yang membahas akar penyebab ekstremisme adalah satu-satunya cara untuk memberikan hasil," tambah dia.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA