post image
KOMENTAR
KETIKA Ali Sadikin mengubah wajah Jakarta menjadi Megapolitan, arus urbanisasi ke kota itu semakin meningkat. Setidaknya ada 4 penyebab mobilitas penduduk dari desa ke ke kota, 1. Kehidupan kota yang lebih modern 2. Sarana dan prasarana kota lebih lengkap 3. Banyak lapangan pekerjaan di kota 4. Pendidikan sekolah dan perguruan tinggi lebih baik dan berkualitas.

Dari ke empat faktor tersebut, banyaknya lapangan kerja lebih dominan dibandingkan lainnya, dampaknya jumlah penduduk di ibukota negara pun bertambah tiap tahunnya walaupun kepastian akan kerja yang diimpikan belum tentu terpenuhi. Tulisan ini tidak akan membahas dampak urbanisasi secara menyeluruh, penulis hanya fokus pada sebuah tradisi tahunan yang dilakukan menjelang hari raya di Indonesia sebagai akibat urbanisasi.

Tradisi mudik yang tiap tahun dilakukan ternyata bukan hanya sebuah ritual biasa tanpa makna, selain itu tradisi mudik bukan hanya milik rakyat Indonesia semata. Negara gingseng (Korea) juga memiliki tradisi mudik ketika merayakan tahun baru masehi (Shinjeong), tahun baru lunar (Imlek) yang dikenal dengan istilah Solnal atau Gujeong, dan hari raya Chuseok. Biasanya rakyat Korea akan berkumpul bersama keluarga, ziarah pada para leluhur dan menyediakan makanan untuk para leluhur mereka di hari raya Imlek dan Chuseok.

Bagaimana dengan tradisi mudik di Indonesia? mudik yang awalnya hanya milik mereka yg berada di Jakarta menuju pulau jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, belakangan mulai menyebar dari Kota-Kota yang ada di setiap Propinsi. lalu apa makna mudik bagi rakyat Indonesia yg mayoritasnya Ummat Muslim? ya, ada dimensi religi didalamnya sehingga semangat mudik bukan hanya sosiokultur namun ada syariat yang memayungi tradisi tahunan tersebut.

Pandangan Islam
Jelas sekali memang mudik yang dilaksanakan jelang hari raya Ummat Islam bukanlah sebuah keharusan, akan tetapi sebuah tradisi yang memiliki dimensi religi. Islam sangat menganjurkan Ummatnya menyambung tali silahturahim bahkan menguatkannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007 : 1065) silaturahim atau silaturahmi bermakna tali persahabatan atau persaudaraan. Islam sedikit berbeda memaknai silahturahim dengan kata 'rahim' yang bermakna satu peranakan saja, ada juga yang memaknai kerabat, akan tetapi subtansi silahturahmi atau silahturahim adalah menyambung kasih sayang, kekerabatan yang menghendaki kebaikan.

Pentingnya silahturahmi/silahturahim menurut Islam sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah An-Nahl : 90; Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. Ats-tsa’labi (tt: 2: 321), As-Sulami (2001: 1:372), ‘izz bin Abdussalam (1996: 1: 577), Fahrurrozi (tt: 1: 2747), dan Ahmad bin Muhammad bin Mahdi (2002: 24:73) mereka menafsirkan bahwa ungkapan tersebut bermakna perintah untuk silaturahmi. Sementara itu manfaat silahturahmi berdasarkan hadist adalah dapat memperluas rezki dan diperpanjang usia (usia yang berkah) (HR.Bukhari).

Bila kita melirik konsep hirarkhi kebutuhan individual yang pernah disampaikan Abraham Maslow (Dalam Schulzt, 91) maka kebutuhan tertinggi adalah aktualisasi diri dengan prasyarat dapat memenuhi 4 dasar kebutuhan;  kebutuhan Fisiologi, kebutuhan rasa aman, kebutuhan memiliki dan cinta, serta kebutuhan akan penghargaan.

Dengan demikian, silahturahim/silahturahmi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi bukan sekedar keperluan. lalu mengapa harus jelang Hari raya? tentu saja karena regulasi instansi, baik swasta maupun pemerintahan dan sekolah serta PT yang memberi libur panjang, sehingga momen libur itu harus dimanfaatkan untuk menjalin kasih bersama Ibunda, Ayahanda, saudara, teman bermain, serta orang-orang di kampung kita. Bila Ibunda dan Ayahanda sudah tiada, menjalin silahturahmi dengan teman-teman mereka adalah salah satu anjuran dalam Islam sebagai hadist; Sesungguhnya kebajikan yg utama ialah apabila seorang anak melanjutkan hubungan (silaturrahim) dgn keluarga sahabat baik ayahnya. (HR. Muslim No.4629). Begitu menawannya ajaran Islam, semoga mudik dapat bernilai Ibadah asalkan dengan niat menjalin tali silahturahmi, saat menuliskan ini, penulis sedang mudik dan berharap bisa merasakan kembali pelukan dan kasih sayang Ibunda tercinta serta didikan seorang Ayah.[***]



*Komisioner Komunitas Pecinta Kopi
Banda Aceh 

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini