post image
KOMENTAR
Membaca berita tentang seorang pedagang Lontong ditangkap karena memukuli preman (Kamis, 30 Juni 2016) hati saya terenyuh, haru dan saya rasa kejadian ini menbundang solidaritas. Postur tubuhnya biasa-biasa saja. Tidak tegap, tidak tinggi dan tidak memiliki keahlian beladiri seperti Pencaksilat, Tarung Derajat, Jiujitsu, Gulat, Kungfu atau Karate. Ia hanya punya sebuah sikap kuat dan niat besar membela keluarga dengan mencari nafkah di jalan yang benar secara halal. Ia juga memiliki keberanian menghadapi segala resiko, sambil memberi tanggungjawabnya kepada Negaranya melalui kewajiban membayar pajak dari hasil usahanya di sektor informal yang lazim tak terperhatikan dan terlindungi itu. Dalam pengakuannya ketika diperiksa Polisi, Iwan Lontong berkata "Saya memukuli Roby lantaran dia kerap membuat ulah jahat. Dagangan saya diganggunya”.

Bukan Penjahat

Iwan Lontong memang menghantamkan balok kepada Roby yang akhirnya dirawat di rumah sakit. Sebenarnya ia tidak pernah memiliki niat melakukan kekerasan. Namun, karena kerap berbuat ulah, Iwan terpaksa menghantam kepala seorang preman dengan balok kayu. Dua anggotanya sebelumnya tekah kena pukul preman itu.

Pedagang lain yang berlokasi di sekitar itu mungkin sama sikapnya dengan Iwan Lontong, bahwa jika tak keterlaluan, akan memilih aman dan mendiamkan saja perlakuan penjahat yang akhirnya melapor kepada pihak Kepolisian setelah mengalami pembalasan (penjeraan) pada hari Kamis (23/6/2016) yang lalu.

Dalam pandangan saya, terlepas apa pendapat pakar hukum tentang ini, Iwan Lontong tidak melakukan penganiayaan, melainkan perlawanan untuk membela diri (harkat dan martabat serta hak normatif) dengan sebuah bentuk perlakuan kekerasan yang diharapkannya dapat menyelamatkan eksistensi diri.

Pekerjaan sebagai tukang peras yang mungkin kerap disebut dengan julukan lain, yakni preman, tampaknya masih diakui sebagai living reality di Medan. Pihak Kepolisian dengan program yang dibantu publikasi besar-besaran berupa spanduk "Tim Pemburu Preman" yang dilengkapi dengan nomor hp yang dapat dihubungi, rasanya belum dapat menekan jumlah penjahat yang antara lain dihajar hingga masuk rumah sakit oleh Iwan penjual Lontong itu. Kita belum tahu kesimpulan dari proses verbal dan rekonstruksi kasus yang dibuat oleh kepolisian, rencana tuntutan dari Jaksa dan vonis pengadilan kelak. Tetapi, rasanya cukup zolimlah membiarkan Iwan Lontong malah tersudutkan kelak. Ia pastilah orang baik-baik. Bekerja membela keluarga, meringankan beban pemerintah, dan karena keyakinannya atas kebenaran membela hak-haknya mendapatkan pekerjaan dan nafkah keluarga, ia terpaksa melakukan kekerasan yang sama sekali tidak terhindarkannya lagi (overmacht).

Bela Kebenaran

Negara memang sangat kewalahan menjanjikan pekerjaan yang layak bagi setiap warga Negara. Angka gini rasio yang menunjukkan kesenjangan pendapatan antar warga Negara juga semakin parah dari waktu ke waktu. Angka keparahan kemiskinan juga tidak mungkin kita abaikan ketika memikirkan beban berat yang ditanggung oleh rakyat bawah.

Kita semua dalam duka yang sama. Kita semua dalam kesulitan yang sama, dengan pemerintahan serta agenda yang itu-itu juga. Karena itu, memang, tak pelak lagi, Roby yang memilih menjadi preman juga wajib difahamkan sebagai sebuah tragedi sulit dalam status pilihan keterpaksaan. Tetapi ia tidak dilindungi hukum dalam pekerjaan yang memusuhi kebajikan itu. Ia sungguh-sungguh menjadi musuh bagi masyarakatnya. Ia wajib mempertanggungjawabkannya di depan hukum.

Jika Iwan Lontong bisa berusaha terus-menerus membangun kepercayaan diri dan melakukan sesuatu yang sah untuk mendapatkan nafkah, mengapa Roby tidak mengikuti langkahnya? Siapa dia sebetulnya, warga Negara kelas mana Roby ini sebetulnya? Hak istimewa apa yang dimiliki oleh Roby sehingga ia boleh dan begitu leluasa menjadi preman dan hidup dengan cara-cara hitam yang menjadi musuh bagi Iwan Lontong dan para pelaku sektor informal yang mulia itu?

Perbandingan

Negara justru wajib bangga kepada Iwan Lontong dan mendorong tumbuhnya sejuta Iwan Lontong di lahan-lahan usaha lain agar Negara semakin sehat, dan warga Negara semakin sadar bahwa mencari nafkah itu adalah kewajiban sekaligus ibadah yang dihargai setinggi-tingginya di mata tuhan.

Jika hukum justru akan memosisikan Iwan Lontong sebagai penjahat, entah dengan dalih “main hakim sendiri” atau argumen-argumen hukum formal lainnya yang dapat dipasangkan secara kaku tanpa filosofi menjadi argument anti keadilan, maka Indonesia patut malu dan berduka. Kini harus dipastikan, bahwa setelah menjalani perawatan, Roby wajib dituntut di peradilan yang jujur untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Sebagai perbandingan, presiden baru Filifina Rodrigo Duterte malah menjanjikan perlindungan bagi warga Negara yang memberikan perlawanan kepada para gembong narkotika. Bunuh saja, katanya, jika melawan dan jika mengancam akan mencederaimu. Saya akan hadir untuk Anda dengan membawa kekuatan resmi negara, dan Negara kita harus bersih dari musuh yang berbahaya ini (perdagangan haram narkotika), tegasnya.

Award

Menurut saya, Iwan Lontong pantas dibawa kepada Kapolri agar mendapat penghargaan dan pengukuhan sebagai "Duta Masyarakat Sipil Anti Kejahatan”.

Tidak salah Walikota Medan Dzulmi Eldin memulai proses ke arah itu dengan menjenguk Iwan Lontong di tahanan, memberinya advokasi hukum dan mengawal kasusnya hingga tuntas.

Menurut saya pula, Iwan Lontong tidak perlu ditahan berlama-lama, karena ia perlu segera dipulangkan ke keluarganya yang akan merayakan Idulfitri yang beberapa hari lagi akan tiba.


*Shohibul Anshor Siregar, dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini