post image
KOMENTAR
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kaget kala mengetahui dana kampanye para peserta pasangan calon pada gelaran pemilu kepala daerah (pilkada) serentak 2015 lalu lebih besar dari biaya penyeleng­garan yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Hal itu terlihat dalam riset KPK yang mewawancarai 286 calon kalah dalam pilkada tahun lalu. Hasilnya juga memperlihatkan para calon mengeluarkam biaya yang tak banyak untuk mahar kepada partai politik pengusung serta biaya saksi yang nilainya tak sedikit.

"Menurut responden, lebih signifikan sebelum kampanye, itu mereka mengeluarkan biaya mahar ke parpol, dan sesudah kampanye mereka menge­luarkan biaya saksi di TPS (Tempat Pemungutan Suara)," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan saat jumpa pers di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, ke­marin. Hadir pula Komisioner KPU pusat Ida Budhiati, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Soni Sumarsono, dan Sekjen Bawaslu Gunawan Suswantoro.

Pahala menyebut, biaya saksi yang dikeluarkan para calon kepala daerah bisa men­capai Rp 2 miliar pada ting­katan kabupaten. Sementara untuk mahar politik, menurut Pahala, besarannya berbeda-beda tergantung dari partai yang memintanya.

"Biaya terbesar adalah mahar partai yang dihitung berdasarkan jumlah kursi di DPRD. Biaya yang dikelu­arkan sangat berbeda antara paslon yang dipinang partai, atau paslon yang meminang partai," jelasnya

Berdasarkan laporan dari KPU, Pahala mengungkapkan, beberapa responden mengaku tak pernah melaporkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) ke KPUD. "20 persen responden tidak melaporkan LPPDK. (Atau) ada biaya-biaya lain yang nilainya signifikan besar tapi tidak dimasukkan dalam LPPDK," ujarnya.

Pahala menuturkan, tidak ada korelasi kekayaan calon dengan kepastian kemenangan yang akan dihadapinya pada pilkada. "Pasangan calon yang punya harta banyak atau kaya ternyata tidak berkolerasi dengan keme­nangannya," ungkapnya.

Selain itu, KPK juga me­nemukan ada dana lain yang nilainya besar tapi tidak dican­tumkan dalam LPPDK. Dana itu dikeluarkan pasangan calon pada sebelum dan sesudah masa kampanye.

Berdasar pada hasil riset itu, KPK menilai, perlu adanya perubahan regulasi terkait pen­gaturan mengenai penerimaan dana kampanye dan LPPDK.

Pertama, KPK mengusulkankepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengubahatau memperluas definisi dana kampanye. Pengertian dana kampanye sebaiknya tidak hanya fokus pada dana yang dikeluarkan selama masa kam­panye, tapi mencakup dana yang dikeluarkan sebelum dan sesudahnya. Hal itu bertujuan untuk mengantisipasi biaya mahar dan sesudah masa kampa­nye untuk mengantisipasi biaya saksi dan biaya sengketa.

Kedua, KPK meminta Bawaslu agar memperkuat peran dalam pelaksanaan pilkada sehingga pemberian uang dari pasangan calon kepada saksi yang ada di TPS bisa diminimalisasi.

Ketiga, Kementerian Dalam Negeri dan DPR harus men­cantumkan sanksi diskuali­fikasi kepada para calon pasan­gan yang tidak patuh dalam memberikan LPPDK.

"Kami melihat laporan penerimaan sumbangan dana kampanye dan penggunaan dana kampanye belum efektif. Kami duga karena sanksinya kurang keras. Kalaupun ada sanksi, penegakan hukumnya belum konsisten," ungkap Pahala.[rgu/rmol]

LPM dan FKM USU Gelar Edukasi Kesahatan dan Pemberian Paket Covid 19

Sebelumnya

Akhyar: Pagi Tadi Satu Orang Meninggal Lagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel