Presiden Jokowi memang memiliki hak prerogatif dalam memilih pengganti Jenderal Pol Badrodin Haiti sebagai Kapolri. Namun, hak prerogatif yang dimiliki presiden tidak bisa seenaknya saja dipergunakan.
"Untuk penunjukkan Tito sebagai calon Kapolri, Presiden Jokowi dengan hak prerogatifnya tersebut justru menabrak mekanisme dan etika serta budaya di tubuh Polri," kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane pada dialektika demokrasi dengan tema "Mengapa Jokowi Pilih Tito Karnavian sebagai Calon Kapolri" di Media Center DPR, Jakarta, Kamis (16/6).
Diakuinya memang tidak banyak jenderal berkualitas dan mumpuni seperti Komjen Pol Tito Karnavian. Tapi bukan berarti tidak ada yang layak menjabat calon Kapolri. Lagipula, menurut dia, Tito bukan superman.
"Seharusnya ada kesabaran dari presiden untuk menjadikannya sebagai Kapolri, tidak secepat itu," tegas Neta.
Ia justru khawatir nasib Tito akan seperti dialami mantan Kapolri, Jenderal (Purn) TNI Da'i Bachtiar. Da'i melewati empat angkatan seniornya ketika diangkat menjadi Kapolri. Empat tahun akhirnya menganggur meski berstatus jenderal aktif.
Menurut dia pula, dukungan para senior untuk Tito sebetulnya sebatas di bibir belaka. Sebab, beber Tito, di Polri ada tradisi melawan dengan diam.
"Saya khawatir, di mulut mendukung namun program Tito tidak dilaksanakan. Dan dia akan mengalami hal itu," kata Neta lagi.
Belum lagi menyangkut psikologi karena anak buahnya nanti adalah jenderal bintang tiga dan tercatat masih senior Tito.
"Mampu kah dia memerintah seniornya. Ini persoalan serius," tukas Neta.[hta/rmol]
KOMENTAR ANDA