Penunjukan Komjen Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri yang menggantikan Jenderal Badrodin Haiti mengagetkan politisi PKS, yang juga anggota Komisi III DPR Nasir Djamil.
"Ketika mendapat informasi soal Tito ditunjuk Presiden Jokowi sebagai calon tunggal Kapolri, bagi saya antara ya dan tidak. Bukan tidak percaya atau ragu terhadap intelektual Tito," kata Nasir Djamil dalam diskusi Dialektika Demokrasi "Mengapa Jokowi Pilih Tito Karnavian Sebagai Calon Kapolri" di Media Center DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (16/6).
Selain Nasir Djamil, pembicara lainnya adalah mantan anggota Kompolnas Adrianus Meliala dan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane.
Nasir Djamil merasa wajar kalau dia mempertanyakan langkah Presiden Jokowi tersebut. Sebab ada empat angkatan atau empat generasi di Polri yakni angkatan tahun 1983, 1984, 1985 dan 1986 yang memiliki jenderal terbaik. Namun justru Tito dari angkatan 1987 yang ditunjuk menjadi Kapolri.
"Apa mereka tidak layak menjadi Kapolri. Kenapa langsung dipilih dari angkatan 1987. Langkah Presiden Jokowi seperti cabang olahraga lompat jauh yang langsung memotong beberapa generasi, tegas Nasir Djamil.
Di sisi lain, dia tidak puas dengan alasan normatif yang disampaikan Presiden kalau Tito jenderal bintang tiga yang memenuhi syarat menjadi Kapolri.
"Publik tidak butuh penjelasan normatif. Sebab angkatan lain juga punya lulusan terbaik. Lantas ada apa dengan Tito. Sebab kalau terlalu lama menjabat Kapolri, bisa-bisa Polri menjadi kerajaan dan hal itu tentunya tidak diinginkan," katanya.
Untuk itu menurut Nasir Djamil, Presiden Jokowi harus menjelaskannya. Sebab UU Kepolisian juga menjelaskan agar Presiden memberikan alasan memilih seseorang menjadi Kapolri.
"Sebab semua angkatan memiliki lulusan terbaik. Dan bicara kepolisian Indonesia harus dilihat dari Sabang hingga Merauke, bukan dari Istana," demikian Nasir. [zul]
KOMENTAR ANDA