KETIKA ada sebagian masyarakat yang mengatakan, "Saya tidak percaya partai politik." Maka dia akan mencari yang diyakini bisa dipercayai. Satu-satunya saluran yang diatur undang-undang untuk memilih kepala daerah selain parpol, adalah perseorangan.
Ketika seribu orang yang berpikiran seperti itu, mungkin tidak apa-apa, tetapi ketika berkembang menjadi sepuluh ribu, seratus ribu dan terus membesar menjadi bola salju, maka tentu saja tidak bisa diremehkan oleh partai politik. Ini adalah tanda-tanda zaman bahwa parpol sedang ditinggalkan.
Dalam psikologi dikenal istilah histeria massa. Dimana suatu kondisi bisa 'menular' ke orang lain dalam satu kelompok. Salah satu contoh adalah kesurupan massal. Satu orang kesurupan di dalam satu kelas sekolah misalnya, maka satu kelas bisa ikut kesurupan. Tidak ada satu pun kajian yang bisa membuktikan bahwa ada mahluk halus beramai-ramai masuk ke dalam tubuh banyak orang, atau satu mahluk halus masuk ke dalam tubuh banyak orang. Dan kesurupan pun tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Satu-satunya pembuktian, keadaan seperti itu adalah masalah psikologi.
Beramai-ramainya orang pendukung Ahok (Basuki Tjahaya Purnama) adalah salah satu bentuk histeria massa. Bertambah banyaknya dukungan terhadap Ahok, bukan karena faktor Ahok semata, tapi faktor lingkungan dan pemandangan sehari-hari yang membuat banyak orang tertular.
Masyarakat terus menerus melihat orang-orang partai politik terlibat perbuatan korupsi, baik itu yang di DPR (pusat dan daerah) maupun yang di birokrasi (gubernur, bupati, walikota). Kendati tidak semua politikus terlibat korupsi, tetapi telah menimbulkan prasangka bahwa politisi tidak bisa dipercaya. Hal seperti ini sama dengan ular, dimanapun orang melihat ular umumnya pasti dibunuh kalau tidak bisa dihindari. Padahal tidak semua ular berbisa.
Fenomena histeria politik mulai timbul saat Pemilu 2014, dimana orang kepincut luar biasa kepada sosok Joko Widodo (Jokowi), yang dikehendaki bisa menjadi presiden. Parpol manapun yang 'menjual' Jokowi saat itu, pasti menang. Beruntung PDIP punya kalkulasi yang tepat. Pada Pemilu 2014, sosok Jokowi adalah antitesis Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), dimana dua kali Pemilu berturut-turut masyarakat menaruh harapan di pundaknya. Tapi apa yang terjadi? Korupsi semakin marak. Bahkan banyak politikus di sekitar SBY dicokok KPK dan masuk penjara. Pada keadaan seperti itu, masyarakat menyimpulkan partai politik tidak bisa dipercaya.
Menjelang pemilu 2014, histeria massa terhadap Jokowi sangat mencolok. Saat itu banyak pengamat yang mengatakan, bila Jokowi tidak maju sebagai calon presiden maka jumlah golput akan meningkat tajam.
Dan itu terbukti, KPU mencatat jumlah seluruh suara sah adalah 124.972.491 suara dengan angka perolehan tingkat golput mencapai 24,89 persen. Jika dibandingkan dengan pemilu legislatif 2009, maka tingkat partisipasi masyarakat terhadap gelaran politik 5 tahunan ini meningkat. Tercatat bahwa angka golput pada Pileg 2009 mencapai 29,01 persen dengan tingkat partisipasi 70,99 persen.
Ketika masyarakat sangat percaya kepada partai politik pada Pemilu 2004, sebagai pemilu presiden langsung pertama masa reformasi, pada Pemilu 2004 tingkat partisipasi sebesar 84,07 persen dengan angka golput mencapai 15,93 persen.
Partai politik tentu saja bukan hanya sekadar papan nama atau seonggok gedung mewah, tetapi di dalamnya ada orang-orang yang bernama politikus. Para politikus itu semakin tidak pandai memainkan perannya di dalam parpolnya masing-masing. Pepatah bahwa di dalam politik 'tidak ada musuh dan teman abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi' terlalu menonjol, sehingga secara psikologis, membuat masyarakat menjauhi parpol, karena menganggap yang diperjuangkan bukan untuk masyarakat tetapi untuk kepentingan parpol itu sendiri.
Komunikasi politik yang dibangun parpol belakangan inipun semakin merusak kepercayaan masyarakat. Hampir sertiap hari para politikus mengatakan kepada media massa, "Keputusan calon Gubernur DKI Jakarta 2017 diserahkan kepada Ketua Umum." Bukankah partai politik adalah persyarikatan? Dimana segala sesuatu diputuskan melalui musyawarah atau pemufakatan. Masyarakat menilai bila diserahkan kepada Ketua Umum, maka tentu saja sesuka-sukanya sang Ketua Umum.
Itu bisa dipahami. Karena partai politik saat ini banyak yang seperti koorporasi (perusahaan). Masing-masing ada pemiliknya. Akibat pernyataan para politisi itu, kemudian masyarakat menilai bahwa PDIP adalah milik Megawati, Nasdem adalah milik Surya paloh, Partai Demokrat adalah milik SBY, Gerindra adalah milik Prabowo Subianto, Partai Hanura adalah milik Wiranto dan lain-lain.
Saya berkeyakinan bahwa tidak ada masyarakat atau sangat sedikit masyarakat yang bersedia menyerahkan nasibnya kepada pemilik parpol selama lima tahun ke depan. Itulah yang kemudian menjelang Pilkada DKI 2017, terjadi histeria pendukung Ahok.
Petanyaannya mengapa bukan histeria pendukung PDIP atau histeria pendukung Gerindra? Dua parpol yaang mengusung Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2012. Jawabannya jelas, masyarakat lebih mempercayai Ahok karena tidak memiliki catatan hitam sebagai koruptor atau kejahatan lainnya.
Histeria massa seperti ini adalah sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup partai politik. Bukan tidak mustahil, pasca Pilkada 2017 muncul histeria Jokowi-Ahok untuk Pemilu Presiden 2019. Masyarakat pendukung Ahok bisa saja bermetamorfosa menjadi dukung Jokowi-Ahok sebagai capres/cawapres 2019. Ini tidak bisa dinafikan. Bila memperhatikan komentar-komentar pembaca berita media massa, yang bersimpati kepada Ahok bukan hanya di Jakarta tetapi juga di darah-daerah.
Lebih jauh lagi, Jokowi/Ahok didorong untuk menjadi capres/cawapres melalui jalur perseorangan. Kesuksesan Ahok di Pilkada DKI jakarta 2017, bila menang, bisa menjadi 'modal besar' untuk mendorong hal itu kendati tidak ada ruang di dalam undang-undang untuk calon presiden perseorangan, tetapi siapa yang bisa menghalangi kehendak masyarakat. Bukankah presiden/wakil presiden untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.
*Ramayanti Alfian Rusid mahasiswa magister management communication Universitas Trisaksi, sarjana psikologi
KOMENTAR ANDA