Pertemuan warga Kampung Akuarium, Pasar Ikan, Jakarta Utara, yang menjadi korban penggusuran Pemprov DKI Jakarta dengan wartawan senior Teguh Santosa, Minggu sore (23/5) berlangsung hangat.
Pertemuan digelar di halaman Mushala Al Jihad. Al Jihad adalah nama baru untuk mushala ini. Sebelum Kampung Akuarium digusur, mushala ini bernama Al Ikhlas. Teguh bersama warga duduk bersila di atas karpet hijau berukuran besar yang dibentangkan. Tampak dalam pertemuan itu sejumlah tokoh masyarakat, termasuk Ketua RT 12 Rini Ernawati dan Topas Juanda yang oleh warga untuk sementara dijadikan Ketua RT 01.
Berbagai hal dibicarakan, mulai dari persoalan-persoalan yang dihadapi warga setelah pemukiman mereka dibongkar paksa Pemprov pada tanggal 11 April lalu, sampai beberapa penyelesaian yang diinginkan warga.
Warga kini hidup di dalam tenda-tenda yang dikirimkan pihak-pihak yang bersimpati dengan nasib mereka. Mereka menolak tinggal di rusunawa Rawa Bebek di Cakung yang disediakan Pemprov Jakarta untuk mereka. Menurut mereka tinggal di rusunawa mengubah pola sosial dan ekonomi mereka. Selain itu, tinggal di rusunawa tidak semanis kata-kata pemerintah. Tidak ada subsidi air dan listrik seperti yang dijanjikan.
Kepada warga, Teguh menyampaikan ancaman bencana ekologi yang sedang dihadapi Jakarta, mulai dari penurunan permukaan tanah hingga potensi kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan global.
Mengutip pernyataan yang pernah disampaikan ahli lingkungan hidup Prof. Emil Salim beberapa tahun lalu, Teguh mengatakan diperkirakan pada tahun 2030 permukaan air laut akan naik minimal 1 meter akibat pemanasan global.
“Menurut Prof. Emil, bila itu terjadi maka Indonesia akan kehilangan sekitar 2.500 pulau, sementara Jawa dan Jakarta di dalamnya yang menjadi konsentrasi penduduk Indonesia akan terkena dampak,” ujar alumi University of Hawaii at Manoa (UHM), Amerika Serikat itu.
Di sisi lain, sambung Teguh, belakangan ini mulai muncul berbagai studi tentang penurunan permukaan tanah Jakarta sekitar 7 hingga 8 sentimeter per tahun.
"Bila dua hal ini bertemu, bisa dibayangkan apa yang akan menimpa kita semua," tambah dosen UIN Syarif Hidayatullah ini lagi.
Dia mengatakan, sudah sepatutnya pemerintah dan masyarakat Jakarta bekerja sama bersungguh-sungguh menghadapi ancaman ekologi ini. Masalahnya, Pemprov DKI Jakarta terlihat arogan dalam mengambil keputusan.
"Wilayah pesisir memang harus diperkuat dan direvitalisasi. Tetapi tidak harus dengan memutuskan hubungan manusia dan tanah yang selama ini mereka tinggali. Menata kawasan pesisir tidak sama dengan penggusuran yang dilakukan serampangan dan tidak berperikemanusiaan," kata dia lagi.
Selain itu, pembuatan pulau di utara Jakarta, yang belakangan disebut reklamasi, juga malah membuat bencana ekologi semakin cepat menimpa Jakarta, kawasan utara Jakarta semakin cepat terendam karena terjadi sedimentasi yang bikin mampet.
"Kebijakannya tidak partisipatif, mengabaikan banyak hal, termasuk prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Juga diwarnai praktik suap dan kepentingan sempit oknum pemerintahan yang bekerja sama dengan pengembang," kata Teguh. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA