Isu suap mengiringi pemilihan anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumatera Utara. Proses fit and proper test yang dilakukan Komisi A DPRD Sumut terhadap 21 calon anggota KPID pada tanggal 16 dan 18 Mei 2016 lalu dinilai tidak transparan.
Sebelum diumumkan kepada masyarakat luas semestinya Komisi A harus melaporkan hasil uji kelayakan dan kepatutan serta menyerahkan daftar 7 calon anggota yang terpilih sebagai anggota KPID kepada Pimpinan DPRD Sumut. Setelah itu, daftar tersebut akan dikirim ke Gubernur Sumatera Utara untuk dibuatkan SK pengangkatan.
Sejak sejak Jumat kemarin (20/5) beredar luas melalui jejaring dunia maya dua daftar berisi nama-nama anggota KPID Sumut periode 2016-2019. Hal ini menambah kuat dugaan telah terjadi aksi tidak terpuji dalam penentuan anggota KPID Sumut.
Daftar pertama terdiri dari Abdul Jalil (mantan Kepala Biro Hukum Pemprov Sumut), Adrian Azhari Akbar Harahap (pengusaha), Parulian Tampubolon (Incumbent), Ahmad Zulfikar (Jurnalis MNC), Mutia Atika (Incumbent), Muhammad Syahrir (politisi Gerindra dan Mantan Ketua PWI Sumut), dan Nahot Tua Parlindungan Sihaloho (aktivis dan guru).
Sementara versi kedua terdiri dari Selamet Widodo (pengusaha batik), Ade Wahyuni Azhar Harahap (dosen), Ramses Simanulang, Pendeta (dosen), Rahmad Karo-karo (mantan Humas Pemkab Sergai), Ryan Sukma Rangkuti (Wakil Ketua KNPI Sumut), Jaramen Purba, PNS (pensiunan PNS/Sekretaris KPID Sumut), dan Zainul Arifin Siregar (Kepala Biro Majalah Forum Keadilan).
Peredaran dua daftar anggota KPID ini memancing komentar kandidat, seperti James Ambarita yang dikenal sebagai penggiat Keterbukaan Informasi Publik. James mengatakan kecewa atas kinerja Komisi A DPRD Sumut.
"Sejak awal saya sudah mencurigai ada ketidakberesan dalam pemilihan anggota KPID yang dilakukan Komisi A, mulai dari merebaknya isu suap kepada anggota Komisi A, hasil seleksi dari Timsel yang tidak dipublikasi, hingga pelaksanaan fit and proper test yang awalnya ditutup dari media, dan model wawancara face to face sehingga para awak media tidak dapat mendengarkan apa yang dibicarakan anggota Dewan dengan calon," kata James.
James mendorong agar Komisi A bersikap transparan terhadap seleksi anggota KPID Sumut, baik tentang rekam jejak calon, indikator penilaian, pertimbangan pemilihan calon, hingga hasil tes yang dilakukan.
"Siapa, nilainya berapa, harus terbuka. Regulator penyiaran merupakan representasi dari publik, penyiaran juga menggunakan frekuensi milik publik, sehingga publik berhak tahu. Jangan sampai mereka yang terpilih merupakan hasil perkoncoan dan yang mampu membayar," tegas James.
Selain mendorong Komisi A DPRD Sumut agar transparansi, James juga mengajak para calon agar menggunakan haknya sebagai Warga Negara untuk melakukan permintaan informasi melalui Komisi Informasi Daerah Sumatera Utara.
"Harus dilakukan itu permintaan informasi kepada Komisi A sebagai upaya strategis untuk mendorong DPRD Sumatera Utara agar bertanggung jawab dan berorientasi pada pelayanan rakyat," tutup James.
Calon lain, Nahot Tua Parlindungan Sihaloho, juga berkomentar senada.
"Saya sudah baca dua versi anggot KPID yang beredar. Saya tidak tahu darimana infonya. Seandainya saja Komisi A transparan, hal ini mungkin tidak terjadi. Padahal ada beberapa anggota Komisi A yang berasal dari kalangan aktivis. Aneh kalau mereka tidak menerapkan prinsip keterbukaan saat menjadi anggota Dewan," kata Nahot.
Menurut Nahot, hal yang menjadi tugas berat KPID Sumut adalah menertibkan Lembaga Penyiaran yang belum memiliki Izin Penyelenggara Penyiaran dan mendorong terwujudnya 10 persen konten lokal Sumatera Utara.
"Perlu kita ketahui bersama bahwa Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara independen yang mewakili publik dan lahir dari rahim reformasi. Komisioner KPID yang terpilih nanti harus memperjuangkan kepentingan publik, utamanya menertibkan LPS yang belum memiliki IPP dan konten lokal Sumatera Utara," tutup Nahot. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA