Setara Institute mengkritisi wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto seperti diusulkan Partai Golkar.
Sebagai partai bentukan Soeharto, Golkar tentu mempunyai tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan penghargaan bagi penguasa rezim Orde Baru tersebut.
Demikian pandangan Ketua Setara Institute Hendardi kepada Kantor Berita Politik RMOL (grup medanbagus.com), Jumat (20/5).
Menurut dia, kepemimpinan Golkar hingga saat ini belum pernah dipegang oleh tokoh yang benar-benar berjarak dengan penguasa Orde Baru.
"Upaya pemberian gelar pahlawan mengandung makna etis bahwa seseorang memiliki peran signifikan, berintegritas, dan tidak cacat moral dalam penyelenggaraan pemerintahan atau pembangunan bangsa," jelas Hendardi.
Sedangkan Soeharto, dia menambahkan, selain tersangkut banyak praktik korupsi di masa lalu juga diduga melakukan kejahatan politik dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Bahkan, secara eksplisit Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme secara jelas menyebut perintah pengusutan atas kejahatan korupsi Soeharto.
Hendardi juga mengingatkan bahwa Soeharto sama sekali tidak pernah dimintai pertanggungjawaban hukum. Jadi, usulan itu bukan hanya bertentangan dengan Tap MPR tetapi juga melawan akal sehat publik dan etik.
"Usulan gelar bagi Soeharto bukan hanya ditujukan untuk memberikan penghargaan, tetapi secara implisit bertujuan memulihkan nama baik, membersihkan dari seluruh dugaan kejahatan, dan menjadi landasan ekspansi politik para loyalis Soeharto untuk mengokohkan kekuasaan baru. Bukan hanya berimplikasi pada aspek hukum tetapi juga memiliki makna luas dalam praktik politik," jelasnya.
Hendardi memastikan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus mengabaikan usulan-usulan tidak produktif itu.
"Akan lebih produktif jika Jokowi justru memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu akibat kebijakan politik Soeharto," tegasnya.[rgu/rmol]
KOMENTAR ANDA