DENGAN tanda seru di belakang frasa itu, kata "Bung" semakin angker dan tidak bersahabat. Itulah persepsi yang dibuat dan kemudian masuk ke dalam program di kepala banyak orang.
Sekarang, mari kita bicara tentang Medan.
Sejarah manapun menulis, pada tahun 1920-an, Medan sudah menjadi melting pot tokoh-tokoh pergerakan. Ini tak bisa bisa diragukan, karena benteng ekonomi terakhir kolonialisme di Indonesia ada di perkebunan tembakau yang dibuka MNC Hollandia, Deli Maatschappij (DM) yang sudah berdiri sejak 1869.
Sebagai tempat taarufnya berbagai aliran pemikiran, Medan menjadi kawah candradimuka. Berbagai rupa-rupa orang datang dan tumpah ke sana. Ada yang berdagang dalam artian sebenarnya berdagang. Ada yang menjajakan ideologi dan paham. Ada yang menjadi ambtenar rendahan, ada pula buruh kasar yang cuma bisa sehari sekali makan.
Medan adalah tempat bertemunya berbagai kelompok kepentingan. Sampai hari ini, dongeng Medan sebagai kota metropolitan agaknya bukan lagi sebagai dongeng semata. Perlahan orang Medan hari ini sudah mulai mempercayai, bahwa Medan benar-benar kota Metropolitan. Sayangnya, metropolitan hanya dibayangkan sebatas pembangunan fisik dan penuhnya jalan-jalan dengan kenderaan bermotor yang semakin tak beraturan. Metropolitan tidak diimbangi dengan pengetahuan.
Salah satunya adalah "Bung!"
Sebagai sapaan hangat dan mesra, "Bung" pernah tenar dijamannya.
Sapaan itu menunjukkan keakraban. DI masa pergerakan hari itu, "Bung" yang juga memiliki arti, "Coy, Bro, Brade, Boy", hari ini, menunjukkan kedekatan seseorang dengan orang lain.
Di masa pergerakan, dimana perlawanan sedang dipadukan, "Bung" adalah kata yang tepat dan cepat diterima oleh berbagai kalangan. "Bung" tidak berhenti di kelas borjuis elit. Akan tetapi, "Bung" malah mendekatkan mereka pada suasana intim yang lebih egaliter pada kelas pekerja.
Di masa itu, tak ada bedanya, jebolan HBS dan buruh ladang tembakau. Tak ada bedanya pencopet dan pemimpin geng resisten. Semua punya sebutan intim yang sama. Semua mesra dengan dipanggil "Bung".
Tiba-tiba "kaum Bung" ini ada di mana-mana. Kehadiran mereka membuat takut DM dan antek-anteknya. Devide et impera sudah gagal. Sebab tak ada lagi kata "Tuan" dan "Sahaya".
"Kaum Bung" terus bangkit. Mereka tumbuh di mana-mana. Di ladang tembakau, di gudang tembakau, di galangan kapal yang mengangkut peti kemas tembakau.
"Kaum Bung" adalah kebangkitan Medan Merdeka! Dan betapa semua orang rindu pada mesra merdeka.
Hari ini, "Bung" mengalami degradasi nilai. Diletakkan pada tempat kumuh. Hidup bersama kecoa dan pre-man (Baca: sebelum manusia).
Hari ini, menjadi "Bung" berarti menjadi penindas kemerdekaan. Menjadi "Bung" berarti menjadi teror dan pemuja kekerasan.
Dan hari ini, kami di sini, berdiri, mengembalikan "Bung" ke maqom asalnya. "Bung" yang egaliter. "Bung" yang menyatukan berbagai kelompok dalam situasi dan kehangatan yang mesra.
"Karena ini Medan, Bung!" kita semua saudara.
*Sekjen Sindikat Tenaga Sukarela Indonesia (Sintesa)
KOMENTAR ANDA