Salah besar jika pertumbuhan energi listrik Indonesia mengikuti pertumbuhan ekonomi.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Tumiran berpendapat, menciptakan kebutuhan listrik sebesar tujuh persen mengikuti pertumbuhan ekonomi delapan persen, merupakan cara berfikir yang sangat keliru.
"Listrik itu menderai perekonomian, pembangunan infrastruktr listrik itu juga akan menumbuhkan perekonomian, karena menciptakan lapangan pekerjaan," ujarnya dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (14/5).
Tumiran mencontohkan, Tiongkok sangat konsern membangun infrastruktur listrik untuk membantu peningkatan ekonominya.
Pada Desember 2014 lalu, pembangkit listrik di negeri tirai bambu itu baru sekitar 1350 gigawatt, namun pada bulan yang sama ditahun 2015, pembangkit listrik Tiongkok sudah mencapai 1506 gigawatt.
"Dalam satu tahun naiknya drastis, artinya kesadaran pemerintah Tiongkok, bahwa listrik itu adalah infrastruktur yang menderai perekonomian, bukan listrik tumbuh mengikuti pertumbuhan ekonomi. Keliru kalau kita menciptakan listriknya tumbuh 7 persen mengikuti ekonomi 8 persen," jelasnya.
Lebih jauh Tumiran mengatakan, Indonesia tidak akan mampu melawan Tiongkok jika kebijakan pemenuhan energi listrik sebesar 35 ribu megawatt hanya sebatas wacana dan jalan ditempat.
Menurutnya jika ingin ekonomi Indonesia baik dan kuat, pasokan listrik perkapita harus mencapai 1000 watt perkapit. Nilai tersebut setara dengan Malaysia.
"Tiongkok sudah mencapai 1300 watt perkapita, kita baru 200 watt. Mampu kita bersaing dengan cina? Jadi kalau mau 1000watt perkapita, dengan penduduk kita 2450 juta, berarti Indonesia harus punya, 250 gigawatt. Kita baru punya 53 gigawatt. Makanya sangat surprise, ketika Presiden Jokowi mendiklair membngun 35 gigawatt yang artinya 75 gigawatt pertahun," pungkasnya. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA