4 April 2016 menjadi hari yang sangat sulit bagi Yana dan Yakin warga Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu menemukan anak perempuannya Yuyun terdampar dijurang sedalam 5 meter dalam keadaan tidak bernyawa setelah hilang sejak tanggal 2 April 2016. Tumbuh menjadi seorang gadis yang masih berumur 14 Tahun dan sedang duduk dikelas 1 SMP Negeri 5 Padang Ulak Tanding, Bengkulu, Yuyun dikenal banyak orang sebagai anak yang pintar dari SD selalu masuk ranking, baik, pintar mengaji dan rajin shalat bahkan menurut pemaparan orang tuanya Yuyun memiliki cita-cita mulia yaitu sebagai guru.
Tetapi, Bukan main perasaan Yana dan Yakin menemukan anak kesayangannya itu sudah tidak bernyawa lagi, semua kebaikan dan cita-cita mulia Yuyun hilang dengan seketika. Terlebih setelah diketahui bahwa kematian Yuyun bukanlah sebuah kecelakaan tetapi sebuah tragedi kejahatan seksual yang dilakukan oleh 14 pemuda (rata-rata berumur17- 19 tahun) dan berujung pada pembunuhan. Tidak hanya kesedihan yang diderita oleh keluarga ini, tentu rasa malu juga mendekati mereka.
Tragedi Yuyun ini tentu saja meraih banyak perhatian masyarakat salah satunya melalui #nyalauntukyuyun dimedia-media sosial dan juga pemerintah dengan kedatangan langsung menteri Khofifah kerumah duka.
Mengenal Kejahatan Seksual
Kejahatan seksual terhadap anak memang sangat mudah terjadi. Tetapi, orang tua sering kali lalui terhadap potensi kejahatan itu. Hal ini bisa saja terjadi karena pemahaman orang tua yang kurang terhadap kejahatan seksual itu sendiri. Untuk itu kita bisa melihat penjelasan yang disampaikan oleh Suharto yang membatasi kekerasan anak pada perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibisionisme), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaaa, eksploitasi seksual).
Kejahatan seksual tidak hanya untuk anak perempuan saja, tetapi kepada anak lelaki juga bisa terjadi. Kejahatan ini bisa dilakukan oleh orang yang berlawanan jenis kelamin ataupun yang sesama jenis kelamin. Secara hukum, pemerintah melalui UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak telah melindungi hak-hak anak seperti dalam pasal 76 E disebutkan “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”
Mengulang Tragedi
Kembali pada tragedi kejahatan seksual yang dialami oleh Yuyun di bengkulu, kita bisa mengatakan ini hanyalah sebuah pengulang tragedi atas apa yang dialamin oleh anak-anak Indonesia sebelumnya. Pada tanggal 20 April tahun 2014 contohnya kota Medan dihebohkan dengan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh guru SD terhadap siswa berumur 7 tahun dengan inisial DW, atas kejahatannya itu pelaku dijerat pasal 81 dan pasal 82 UU No.23/2002 tentang perlindungan anak, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun.
Selain itu, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis 10 tahun penjara 2 guru Jakarta International School (JIS) atas kasus kekerasan seksual yang mereka lakukan terhadap para murid sejak Januari 2013 hingga Maret 2014. Namun, yang menjadi sorotan adalah kasus pelecehan seksual yang berujung pembunuhan terhadap anak bernama Angeline (5 tahun) pada tahun 2015 di Bali yang dapat meraup pemberitaan mencapai lebih dari 1.387 berita.
Kejahatan seksual anak Indonesia telah berada pada level darurat. Setiap tahun kasus kejahatan seksual terhadap anak terus meningkat dimana menurut data Pustadin Komnas Anak laporan pengaduan pelanggaran hak anak ditiap tahunnya selalu meningkat. Pada 2010 terdapat 2.046 kasus, naik menjadi 2.737 kasus pada 2015. Dari 2.737 kasus, sekitar 52 persen adalah kasus kekerasan seksual. Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan, masa depan anak-anak Indonesia harus terbebas dari kejahatan amoral ini.
Berbenah Diri
Atas permasalahan ini, anak bukanlah objek yang harus dipersalahkan. Perbaikan sosial perbaikannya harus bisa dimulai dari diri sendiri (akhlak), kemudian menuju keluarga hingga pada akhirnya terciptalah masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas. Keluarga harus bekerja sama dengan sekolah untuk meningkatkan pendidikan keagamaan kepada anak. Nilai-nilai keagamaan mampu menghambat potensi kejahatam seksual karena tidak hanya melindungi korban tetapi juga menghindari pelaku dari perbuatannya.
Peran paling penting adalah negara atau pemerintah. Jika nilai-nilai keagamaan difungsikan untuk mengcegah, maka pemerintah berperan untuk memberantas kejahatan seksua melalui penegakkan hukum yang adil. Bagi seorang pelaku, hukum yang tepat untuk memberikan efek jerah tidak hanya sebatas hukuman penjara 15 tahun tetapi hukuman kebiri merupakan solusi yang tepat untuk melindungi masa depan generasi Indonesia. Akhirnya, melalui tragedi Yuyun ini kita harus sesegera mungkin menyelamatkan bangsa Indonesia dari kejahatan seksual, jangan sampai pada waktu-waktu berikutnya akan ada anak Indonesia yang menjadi korban kejahatan seksual.***
Penulis merupakan Mahasiswa FISIP USU Stambuk 2012
KOMENTAR ANDA