post image
KOMENTAR
Kemarahan kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atas pernyataan wakil ketua KPK, Saut Situmorang, yang menggeneralisir kader HMI sebagai jahat dan pelaku korupsi, ternyata berbuah unjukrasa di berbagai daerah.

Di Jakarta, unjukrasa kader HMI di gedung KPK, Senin (9/5) bahkan berujung bentrok dengan aparat kepolisian. Selain dua orang polisi terluka, sejumlah fasilitas di gedung anti rasuah itupun rusak karena amukan pendemo.

​Atas kejadian itu, Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma, menyayangkan terjadinya aksi unjuk rasa yang berujung ricuh tersebut. Menurutnya, unjukrasa itu tidak akan terjadi kalau saja Saut Situmorang, selaku pejabat publik, bisa menahan diri dan mampu menjaga omongannya.

​"Ini warning untuk KPK. Kalau dulu masyarakat demo ke KPK untuk mendukungnya, kini justru sebaliknya. KPK yang didemo karena ada komisionernya yang lupa diri," ujar Lieus.

​Bahkan, kata Lieus, jika melihat kinerja KPK yang sangat lambat saat ini, bukan mustahil unjukrasa seperti itu akan terjadi lagi dalam jumlah massa yang lebih besar.

"Menurut saya, ini adalah akumulasi dari kekecewaan rakyat terhadap kinerja KPK selama ini," ujarnya.

​Lieus mencontohkan buruknya kinerja KPK terkait kasus pembelian RS Sumber Waras yang melibatkan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

"Sudah jelas-jelas BPK melapor kepada presiden ada potensi kerugian negara hingga Rp. 191 milyar. Tapi kok bisa-bisanya pejabat KPK bilang belum ada niat jahat. Apakah KPK itu Tuhan hingga tau niat jahat di dalam hati orang?" tanyanya.

​Menurut Lieus, jika kasus dugaan korupsi pembelian RS Sumber Waras itu tak juga dituntaskan KPK, bukan mustahil demo yang sama akan kembali terjadi di KPK.

"Sebab rakyat sudah muak. Bagaimana mungkin KPK yang diberi wewenang sangat besar oleh negara, justru hanya menangani kasus-kasus kecil, sementara kasus yang merugikan negara hingga ratusan milyar rupiah, tak ditangani dengan baik?" ujarnya.

Selain itu, menurut Lieus, kekecewaan rakyat yang berujung unjukrasa terhadap KPK sekarang ini, tidak terlepas dari proses rekruitmen yang berlangsung terhadap para komisioner KPK dulu.

"Bayangkan, sejak awal dibentuk, belum pernah ada sejarahnya KPK itu didominasi orang non muslim. Tapi sekarang dari lima komisioner KPK, tiga di antaranya Kristen dan hanya dua Islam. Apapun alasannya, komposisi ini jelas sangat berdampak psikologis pada masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam," ujar Lieus.

​Komposisi seperti itu, tambah Lieus, bisa terjadi karena sembilan orang panitia seleksi waktu itu tidak selektif.

"Termasuk anggota komisi III yang dulu melakukan fit and proper test. Mereka hanya menilai atas dasar formalitas material terhadap masing-masing calon. Tapi tidak mempertimbangkan dampak psikologis yang ditimbulkan dari keputusan yang mereka buat itu," ujarnya.

​Karena itulah, kata Lieus, agar unjukrasa yang kontra produktif terhadap KPK itu tidak terulang lagi, Lieus berharap para komisioner KPK bisa lebih bersikap arif dan sadar diri bahwa mereka adalah pejabat publik.

"Lebih baik mereka menuntaskan kasus-kasus besar seperti Sumber Waras itu tanpa harus berkoar-koar," katanya.

Dan satu hal yang lebih penting, tambahnya, berhentilah para komosioner KPK berlagak seperti selebriti. Berhentilah cari panggung untuk selalu muncul di media," tegasnya. [hta/rmol]







Komunitas More Parenting Bekerja Sama Dengan Yayasan Pendidikan Dhinukum Zoltan Gelar Seminar Parenting

Sebelumnya

Sahabat Rakyat: Semangat Hijrah Kebersamaan Menggapai Keberhasilan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Komunitas