Pendidikan adalah suatu hal yang sangat vital dalam membangun dan memajukan sebuah peradaban. Tanpa pendidikan, seorang bayi tidak akan mampu menjadi dan dijadikan seorang balita, balita tidak akan mampu menjadi dan dijadikan anak-anak, anak-anak tidak dapat menjadi dan dijadikan remaja dan seterusnya hingga manusia mencapai tahap usia maksimalnya. Disadari maupun tidak disadari, manusia tumbuh dan berkembang melalui sebuah pendidikan, bahkan ketika matipun dibutuhkan pendidikan agar bau bangkainya tidak mengotori dan mewabahi udara.
Di atas kertas, Indonesia adalah negara yang berkomitmen menyelenggarakan pendidikan dengan sistem yang baik. Di atas kertas, 20 % APBN Indonesia dialokasikan untuk pendidikan. Namun seperti yang dikatakan, itu semua hanya di atas kertas.
Nyatanya, pendidikan Indonesia tidak pernah terlepas dari masalah. Dari tahun ke tahun, Presiden ke Presiden, Menteri Pendidikan ke Menteri Pendidikan, mulai dari sistem dan praktik ditemukan masalah-masalah yang terus berulang. Kualitas dan kuantitas pendidikan yang tidak merata di berbagai daerah, fasilitas yang tidak berimbang antara sekolah di pusat dan di daerah, sekolah ‘kaya’ dan ‘miskin’, menyebabkan pendidikan di Indonesia tidak memberikan manfaat untuk peradabannya.
Namun masalah-masalah tersebut tidak ada bedanya dengan daun pohon yang jika ditebas dapat tumbuh kembali. Ada sebuah masalah yang lebih besar dan dalam di balik kacaunya pendidikan di Indonesia. Terdapat sebuah akar masalah yang menjadikan banyak masalah-masalah ‘daun’ bermunculan.
Akar permasalahan dapat diidentifikasikan jika kita mau pergi sejenak ke era kolonial Belanda. Sejak era kolonial Belanda, Indonesia telah dicekoki oleh paradigma ‘bangsawan(feodal) berada di atas proletar, orang kaya mendapatkan hak yang lebih dari pada yang miskin’. Paradigma tersebut tersimpan kuat di dalam ingatan penguasa Indonesia, hingga Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila, Reformasi, Demokrasi, hanya menjadi pelengkap syarat agar Indonesia dapat menjadi sebuah negara yang berdiri sendiri. Selanjutnya tetap saja yang digunakan adalah sistem dari kolonial Belanda. Begitupun pendidikan berjalan di negeri ini, yang kaya dan bangsawan selalu mendapat lebih dari apa yang didapatkan oleh anak-anak terpinggirkan.
Selain mencekoki paradigma tersebut, pemerintah kolonial Belanda mendirikan lembaga pendidikan dan sekolah-sekolah hanya untuk mendukung perusahaan-perusahaan yang mereka bangun di tanah jajahan, Indonesia. Orientasi yang dibangun adalah pendidikan untuk membentuk manusia-manusia yang dapat menghasilkan uang dan terkadang menjadi tenaga penyiksa pribumi, kuli kasar.
Jadi dapat dipahami dengan mudah kenapa Indonesia masih saja memiliki orientasi ‘pendidikan adalah alat penghasil uang’. Bukan sesuatu yang aneh jika Indonesia dan pemerintahnya mengamini terjadinya komersialisasi pendidikan. Sebab memang di seluruh aspek kehidupan, Indonesia masih memakai konsep kolonialisme Belanda, ‘ Usaha di dunia ini adalah meraup keuntungan materi sebesar-besarnya, pembangunan terpusat di Jawa, si kaya mendapatkan hak yang lebih daripada si miskin.’
Pendidikan kembali mendapatkan cobaan berat tepat di Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2016. Hari Pendidikan Nasional di Medan diramaikan dengan peristiwa pembunuhan dosen oleh salah seorang mahasiswanya sendiri di salah satu Universitas Swasta.Banyak orang yang mengaitkan pembunuhan tersebut dengan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Seakan-akan Hardiknas di Medan terkotori oleh pembunuhan tersebut, seakan-akan si pelaku adalah algojo yang memang sengaja ‘dikirimkan’ untuk menodai Hari Pendidikan Nasional. Namun benarkah peristiwa pembunuhan dosen oleh mahasiwanya sendiri menodai Hari Pendidikan Nasional?
Hari Pendidikan Nasional mulai diperingati sebagai hari besar nasional untuk penghormatan kepada Ki Hajar Dewantara, 2 Mei bertepatan dengan hari lahirnya. Ki Hajar Dewantara adalah seorang anak bangsawan yang dianggap sebagai tokoh pahlawan/bapak pendidikan di Indonesia karena konon katanya berani mengrikitisi pemerintahan kolonial Belanda. Keberanian mengkritisi Belanda menyebabkan diasingkannya Ki Hajar Dewantara ke Belanda.
Tidak begitu tepat jika dikatakan kepergian Ki Hajar Dewantara ke Belanda adalah sebuah pengasingan, sebab yang namanya pengasingan adalah sebuah bentuk penahanan dan mengisolir seseorang dari dunia luar. Belanda bukanlah Digul, tempat favorit Belanda mengasingkan para proletar pemberontak. Dengan membandingkan Belanda dan Digul memberikan sedikit garis kesimpulan bahwa Belanda bukanlah tempat pengasingan, Belanda justru merupakan tempat belajar bagi para anak-anak bangsawan Indonesia.
Sejarah penetapan 2 Mei menjadi Hari Pendidikan Nasional memiliki sebuah kisah yang tidak dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, apalagi masyarakat yang mengalami ketertindasan sosial. Jadi, pembunuhan dosen oleh mahasiswa tersebut tidak mengurangi tingkat kekacauan dan dosa pendidikan. Pembunuhan tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan Hari Pendidikan Nasional.
Namun pembunuhan tersebut ada kaitannya dengan sistem pendidikan di Indonesia yang selalu. Pembunuhan tersebut terjadi karena tidak adanya sebuah penghormatan untuk pendidikan. Pembunuhan terjadi karena semua orang menganggap pendidikan adalah berbicara tentang untung rugi materi,tidak pernah berbicara tentang beban dan tanggung jawab untuk kemajuan moril.
Seluruh peserta didik di semua tingkat pendidikan hanya memahami pendidikan adalah sebuah legalitas untuk mendapatkan kehidupan materi yang layak. Hanya sedikit yang berpikir bahwa pendidikan lebih dari sekedar angka di atas kertas. Hanya sedikit yang menjadikan pendidikan adalah nilai (moril) untuk membangun peradaban madani.
Jadi, tidak akan tertutup kemungkinan penyimpangan di dunia pendidikan termasuk perilaku kriminal dapat terjadi lagi di kemudian hari. Sebab peserta didik menganggap materi adalah segalanya. Dan menjadi watak peserta didik untuk mempertahankan segalanya walau dengan jalan kriminalitas. Manusia Indonesia telah dibutakan oleh kesenangan dan kemenangan materi.
Mulailah memperbaiki pendidikan dengan menghilangkan paradigma ‘pendidikan adalah penghasil uang dan penjamin hidup layak’. Pendidikan adalah hal yang dapat menjadikan sekelompok homo sapiens menjadi manusia dan membangun peradaban madaninya.***
#NikmatnyaSeranganFajar
KOMENTAR ANDA