Berlanjutnya proyek reklamasi di Pantai Utara Jakarta padahal sudah disepakati untuk moratorium (berhenti sementara), membuat Komisi VII DPR-RI geram.
“Pemerintah harus mengambil alih semua proyek reklamasi itu. Biar pemerintah pusat yang bangun. Kalau kemudian setelah dikelola pusat baru dijual ke swasta itu lain lagi ceritanya. Yang pasti jika sudah diambilalih kemudian dijual ke swasta akan ada nilai ekonomis yang bisa kita terima,” kata Ketua Komisi VII DPR-RI di Jakarta, Senin (2/5), sebelum berangkat ke Papua.
Dia kembali menegaskan pelanggaran aturan sudah lama terjadi. “Ada lagi yang harus diungkap. Pekan lalu, kita rapat bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup, kemudian Gubernur Jakarta, Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat,” jelasnya.
Dalam pertemuan dengan Komisi VII itu dari Jakarta tidak hadir, dari Banten diwakili Sekda dan Jawa Barat yang hadir wakil gubernurnya, kata Gus Irawan.
Di situ terungkap lagi ternyata sejak proyek reklamasi di Pantai Utara Jakarta berjalan ada tiga ribu truk yang tiap hari hilir mudik keluar masuk proyek membawa tanah timbunan dari Banten, kata Gus.
“Itu pengakuan Sekda Banten ya. Jadi truk itu dari Banten membawa tanah dan pasir untuk timbunan ke Pantai Utara Jakarta. Menurut Sekda, semua izin penambangan tanah dan pasir itu tidak punya izin lho,” tuturnya.
Semua truk yang beroperasi bodong dan galian yang mereka kelola ilegal, ungkapnya. “Menurut Sekda Banten, pernah sekali dilakukan razia gabungan antara polisi dengan pemerintah daerah. Dalam sehari habis 5.000 surat tilang,” kata Gus.
Jadi, menurut dia, banyak sekali efek negatif dan kerusakan yang ditimbulkan reklamasi Pantai Utara Jakarta. “Kalau Banten sudah merasakan sendiri dampak kerusakan lingkungan yang muncul.” Sehingga, tutur Gus, memang harus ada dulu kajian komprehensifnya.
Solusi idealnya semua proyek reklamasi itu ‘disita’ pemerintah pusat. “Kemudian biarkan pusat yang memproses mau seperti apa. Karena sebenarnya kewenangan suatu wilayah jika itu sudah menyangkut beberapa provinsi harusnya pusat yang kelola. Kemudian kan Pantai Utara Jakarta itu sudah ditetapkan pusat sebagai kawasan strategis nasional. Jadi harusnya semua kewenangan di tangan pusat,” ungkapnya.
Gus curiga ngototnya Pemprov DKI melanjutkan reklamasi walaupun sudah ada moratorium terkait dengan uang besar. “Saya melihat ini uang bernilai tinggi. Seperti yang pernah saya sebutkan itukan ada 5.200 hektar lahan. Kalau dikali Rp20 juta saja per meter persegi ada uang Rp1.000 triliun lebih di situ. Makanya ini pasti menyangkut uang besar,” tuturnya.
“Lebih aneh lagi kalau kemudian proyek reklamasi itu dilanjutkan Pemprov DKI hanya dapat kontribusi 5 persen. Pun kita tidak tahu hitungan 5 persen itu dari mananya. Apakah setelah selesai proyek atau bagaimana,” tutur Gus.
Itu sebabnya dia mendesak pusat mengambilalih dan mengelola semuanya. “Jadi kalaupun ada value added dari situ nantinya akan masuk ke kas negara. Jangan sampai korporasi saja yang selalu mendapatkan untung besar dari reklamasi,” tuturnya.
“Asumsi korporat beli lahan Rp10 juta atau Rp20 juta paling mahal per meter per segi. Kemudian nanti dijualnya ke pembeli Rp100 juta per meter per segi. Bayangkan berapa uang yang tidak diterima negara,” ungkap Gus.[rgu]
KOMENTAR ANDA