post image
KOMENTAR
Acara nonton bareng film dokumenter Rayuan Pulau Palsu (RPP) di samping Masjid Taufiqul Mubarak, Muara Angke, Jakarta Utara, Sabtu malam (30/4), berlangsung meriah. Film berdurasi 60 menit karya rumah produksi WatchDoc itu disambut antusias warga sekitar.

Tak kurang dari 1.500 warga tua dan muda berkumpul di depan layar sejak pukul 18.30 WIB. Karena sedikit kendala teknis, film baru bisa diputar pukul 20.30 WIB.

Hujan rintik yang turun di tengah pemutaran film tak membuat penonton beranjak meninggalkan tempat. Sebaliknya, penonton semakin bersemangat dan berteriak riuh rendah saat wajah beberapa pemain film yang merupakan warga di kawasan itu muncul di layar.

RPP merekam dinamika warga Muara Angke dan sekitarnya yang tengah terancam penggusuran dan kehilangan lahan pekerjaan akibat proyek raksasa National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Megaproyek yang juga dikenal sebagai Proyek Garuda ini digagas pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta.

Megaproyek ambisius ini dikhawatirkan merusak lingkungan hidup dan membuat nelayan kehilangan tempat. Selain itu, megaproyek ini pun dinilai akan memperlebar jarak antara kelompok miskin dan kelompok kaya, serta menciptakan kecemburuan sosial dan ketegangan sektarian mengingat properti yang sedang dibangun di pulau-pulau buatan Proyek Garuda ditawarkan kepada konsumen Tionghoa, baik yang hidup di Indonesia maupun yang berada di Republik Rakyat China.

Salah satu adegan awal RPP adalah tayangan yang memperlihatkan klip promosi Proyek Garuda dalam bahasa Mandarin. Bagian ini disambut teriakan kesal para penonton. Begitu juga adegan Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kemenangan di atas kapal Pinisi setelah dinyatakan menang dalam Pilpres 2014.

Adegan yang memperlihatkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pun disambut penonton dengan reaksi yang sama, ditambah teriakan penipu” dan pembohong”.

Usai pemutaran film RPP, pentolan WatchDoc, Dandhy Dwi Laksono, mengatakan bahwa film yang dikerjakan selama empat bulan itu mereka dedikasikan untuk semua anggota masyarakat yang kehidupannya terancam akibat ambisi reklamasi, baik di Jakarta maupun di tempat-tempat lain di Indonesia.

"Reklamasi bukan hanya ancaman bagi warga Jakarta, tapi juga ancaman bagi bangsa Indonesia," ujarnya.

Sementara sejarawan muda JJ Rizal yang didaulat menyampaikan pendapat mengatakan bahwa film RPP sebenarnya tidak diperlukan apabila Jakarta memiliki gubernur asli dan Indonesia memiliki presiden asli.

Sayangnya, kata Rizal, yang ada di Jakarta adalah gubernur palsu, demikian juga presiden di Indonesia adalah presiden palsu. Hanya pemimpin palsu, sambung dia, yang mau membuat pulau palsu.

"Kita tidak punya presiden, kita tidak punya gubernur. Jokowi itu presiden palsu, Ahok itu gubernur palsu. Makanya mereka bikin pulau palsu," kata Rizal.

Aktivis Komite Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Martin Hadiwinata mengatakan bahwa lawan warga Jakarta naik kelas, dari gubernur menjadi presiden.

"Presiden Jokowi membela reklamasi yang dilakukan Ahok. Lawan kita sudah naik kelas, dari gubernur jadi presiden. Kita harus memperkuat barisan," kata dia.

Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta, Teguh Santosa, yang juga hadir dalam acara nonton bareng itu kepada wartawan mengatakan, megaproyek ambisius ini tidak disusun dengan baik dan mengabaikan aspirasi rakyat, terutama di kawasan terdampak.

Selain itu megaproyek ini pun sarat kongkalikong dan diwarnai praktik suap. Lebih parah lagi, megaproyek ini cenderung membelah dan mengadudomba masyarakat yang menjadi korban dengan masyarakat yang dibayar dan diberi insentif untuk mendukung Proyek Garuda.

"Proyek Garuda ini melanggar beberapa poin penting dari 10 prinsip tata pemerintahan yang baik. Jelas melanggar prinsip partisipasi karena tidak melibatkan masyarakat dalam penyusunan dan pengambilan keputusan. Juga jelas melanggar prinsip transparansi, dan sudah dibuktikan dengan kasus suap yang melibatkan pihak-pihak tertentu di sekitar reklamasi Jakarta," ujar alumni Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran ini.

Prinsip tata pemerintahan lainnya yang dilanggar adalah prinsip kesetaraan dan daya tanggap pemerintah dalam merespon aspirasi warga.

"Kebijakan ini pun diragukan memiliki wawasan ke depan, salah satu prinsip yang penting dalam pemerintahan. Dikhawatirkan megaproyek ini malah akan mengundang bencana ekologi karena mengabaikan amdal serta tata ruang wilayah," kata Teguh lagi.

"Pesan film ini tunggal, hentikan reklamasi at all cost," demikian Teguh. [hta/rmol]

Syahganda Nainggolan: Teguh Dapat Dipasangkan dengan Bobby, Ijek dan Edy

Sebelumnya

Teguh Santosa: Protes Agung Podomoro Salah Alamat, Tidak Ada Negara dalam Negara

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Teguh Santosa