post image
KOMENTAR
Sesuai pernyataan Presiden Jokowi, saat ini Indonesia berada dalam darurat narkoba. Kedaruratan itu mestinya diikuti oleh langkah setara (darurat) juga. Salah satu bentuk konsekuensi dari kedaruratan itu ialah perlunya dibentuk satuan operasi khusus yang untuk kondisi saat ini lebih baik berbasiskan kekuatan militer dibantu oleh instansi lain. Semua itu dimaksudkan untuk melancarkan perang yang efektif dan terukur. Satgas yang sudah dirancang oleh pihak BNN dikhawatirkan tidak akan berdaya karena besaran masalah saya anggap sangat jauh di atas kapasitas lembaga Kepolisian saat ini.
 
Karena Satgas ini bertujuan untuk meruntuhkan mitos bahwa Indonesia adalah surga bagi para toke dan pengguna narkoba, maka kewenangannya pun harus diberi seleluasa mungkin di bawah kendali langsung Presiden.
 
Ada 6 langkah utama yang menjadi agenda Satgas, yakni:
 
Pertama: mutlak pentingnya menghitung kebutuhan konsumsi narkoba nasional. Tanpa menghitungnya, perang terhadap narkoba adalah sebuah upaya sia-sia.  Menurut saya, menggelorakan perang terhadap narkoba wajib dimulai dengan menghitung konsumsi narkoba secara nasional. Berapa ton pertahun? Berapa rata-rata konsumsi perorang? Berapa rata-rata pengeluaran perorang?
 
Ilmu pengetahuan sudah sampai sejauh ini, jangan ada yang mengelak tak mampu melakukannya. Jika Bulog mampu menghitung kebutuhan nasional untuk semua jenis pangan seperti kacang kedelai, beras, terigu, gula dan lain-lain, maka kebutuhan nasional narkoba juga mestinya bisa dihitung, meski proses dan caranya lebih sulit. Tetapi mengetahui kebutuhan nasional narkoba bermakna mengetahui sebaran industri, industriawan dalam dan luar negeri, jaringan pemasaran, kantong-kantong pengguna,  nilai peredaran uang, dan lain sebagainya.
 
Proyeksi kejadian lost generation yang akan dialami oleh Indonesia pada tahun-tahun mendatang pun bisa dibuat lebih akurat dengan data-data itu. Saya tak bisa sama sekali melukiskan konyolnya sebuah perang jika kita tidak tahu sama sekali informasi tentang kekuatan musuh. Karena itu, bagi saya cerita perang melawan narkoba selama ini hanyalah sandiwara yang sangat naïf. Yakinlah, tidak ada satu komponen bangsa pun yang pernah serius untuk itu.
 
Kedua, integritas aparatur penegak hukum dalam perang terhadap narkoba. Harus segera dilakukan operasi pemindakan untuk mempersempit terjadi tindakan abuse of power para penegak hokum. Pemeriksaan laboratories yang rutin sangat diperlukan, dan priuoritasnya bukan instansi lain melainkan instansi yang secara langsung terkait dengan urusan narkoba dan kenarkobaan. Kecil kemungkinan para legislator menjadi pengedar, dan jika pun mereka menjadi pecandu sabab musababnya sudah jelas adalah karena ketersediaan yang sangat mudah diakses serta fasilitasi berupa tempat-tempat hiburan yang perizinan serta pengawasannya ada di lembaga yang terkait dengan hukum. Pemeriksaan laboratories rutin bertujuan untuk menjungkir-balikkan mitos bahwa aparat tidak bisa dibina. Banyak kejadian yang menjadi kisah legendaris yang menunjukkan kadar integritas yang amat lemah petugas resmi perlawanan terhadap narkoba yang justru berbalik gagang menjadi perisai utama.  Kasus Kasat Narkoba Polres Belawan dan sebelumnya kasus razia di lapas Lubuk Pakam, adalah indikasi besaran masalah secara nasional. Yang kita saksikan dan yang diberitakan oleh media hanyalah bagian kecil yang merupakan puncak gunung es belaka. Pepatah lama tetaplah berlaku, bahwa jika musang sudah berbulu ayam, bahayanya sangat dahsyat.
 
Selama ini masyarakat disuguhkan mitos bahwa lapas adalah sarang pengendali narkoba. Karena itu Satgas harus menyasarnya secara serius. Harus dirontokkan mitos bahwa lapas tidak bisa dibersihkan.
 
Ketiga, audit pengamanan barang bukti, vonis pengadilan termasuk rekomendasi-rekomendasi untuk merehabilitasi para pengguna narkoba. Siapa bisa menjamin dalam kebobrokan sistemik ini bahwa barang sitaan bisa beredar kembali ke pasaran? Satgas wajib menggaruknya.
 
Kelima, masalah regulasi tentang narkoba. UU Nomor 35 tahun 2009 telah mencontohkan sebuah kenaifan dengan mencantumkan daftar narkoba pada lampiran yang menjadi bagian dari UU itu. Dipastikan bahwa tak sampai sehari setelah ditetapkannya UU itu, daftar peredaran narkoba di Indonesia dijamin sudah berubah. Muncul kecurigaan besar, apakah proses pembuatan UU ini juga dikendalikan oleh para raja narkoba. Kemudian kita tentu saja tidak mengharapkan tumbuh-suburnya keleluasaan yang makin besar para pengendali narkoba dunia dan nasional akibat lemahnya hukum. Hal-hal seperti ini menjadi domain yang seharusnya menjadi salah satu wilayah tempur yang sangat penting dan serius bagi para legislator di Senayan. 
 
Keenam, partisipasi sosial masyarakat dan pengawasan media.  Di banyak Negara tak terkecuali Indonesia, partisipasi formal diatur sedemikain rupa. Namun, mereka berada pada garis demarkasi yang diciptakan sedemikian rupa untuk tidak boleh memasuki wilayah sesungguhnya. Mereka tak ubahnya ornamen yang dari segi tampilan mungkin saja seperti sungguh-sungguh. Namun, kenyataannya tidak demikian.
 
Partisipasi sosial masyarakat dalam perang terhadap narkoba secara sungguh memerlukan perombahan untuk perkuatan. Mungkin diperlukan kehadiran partisipasi social masyarakat yang mampu mereplikasi ketangkasan dan keberanian organisasi Front Pembela Islam (FPI) agar kebekuan berfikir dan keengganan berbuat bisa lebih baik. Apa pun obsesi Negara akan sulit tercapai tanpa partisipasi sosial masyarakat. Tetapi adalah hayalan yang aneh mengharapkan partisipasi social jikaa aparatur tidak berbenah dan berlaku jujur sejujur-jujurnya.
 
Peran media pun sangat lemah karena tak mampu melakukan investigasi yang serius. Jika media hanya memberitakan apa saja yang baik menurut sumber-sumber penegak hokum (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan), itu bermakna bahwa media hanya mengamini apa saja yang dikehendaki oleh sumber-sumber yang belum tentu bersedia mengumumkan fakta-fakta sebenarnya.
 
Kompleksitas Masalah

Suatu ketika, pada tahun 2001, Michael Wooldridge, mantan menteri kesehatan Australia,  begitu kesal dan tak mampu menyembunyikan kekecewaannya bahwa perang terhadap narkoba dengan pendekatan hukum yang membukukan catatan kegagalan. Sekaitan dengan itu, Justin B Shapiro, Mexico (2010), dengan tegas mengatakan bahwa menuntut para penyalah-guna dan pecandu narkoba, akan menghambur-hamburkan sumber-daya penegakan hukum. Selain itu  dipastikan akan selalu mendorong timbulnya korupsi bagi penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan para Hakim untuk semua level).
 
Diakui atau tidak, praktik buruk “jual-beli” pasal-pasal hukum untuk memosisikan setiap orang (tersangka pengedar dan gembong narkoba) sebagai pengguna tidak dapat dihindarkan. Sudah menjadi rahasia umum. Tidak ada kekuatan apa pun di Indonesia yang mampu memperbaiki masalah ini. Sekaitan dengan itu Antonio Maria Costa dari United Nations Deputy Secretary General and Executive Director of the UNODC United Nations Office on Drugs memang pernah mengatakan bahwa penegakan hukum yang tidak berbasis integritas sosial terhadap narkoba menyebabkan mereka (aparat) menjadi prajurit sindikat narkoba.
 
Dalam catatan internasional pastilah orang mengingat bahwa lebih dari 40 tahun lalu Amerika di bawah kepemimpinan Presiden Nixon begitu gencar melakukan perang terhadap narkoba. Tetapi masyarakat internasionak mencatat hasilnya sangat mengecewakan.  Amerika ternyata tak mengejar dan tak pernah menghancurkan kartel, tetapi selalu senang berkutat pada pecandu-pecandu atau jaringan remeh-temeh belaka.
Timbang-timbanglah pernyataan-pernyataan di atas itu dan bandingkan dengan pengalaman sehari-hari di negara kita. Sebegitu berbeda atau sebegitu mirip? Anda simpulkan sendirilah.
 
Sebelumnya, tahun 1993, David T Courtwright, dalam tulisannya berjudul  War on drug,  mengajukan keyakinanya bahwa masalah supply-lah yang menjadi akar masalah perang terhadap narkoba. Sayangnya, rintangan utama dalam strategi suply reduction dalam menghadapi penyelundupan narkoba ialah tingginya jumlah uang yang beredar dan yang dihasilkan oleh narkoba. Uang tersebutlah yang digunakan untuk “membeli” petugas, baik di dalam maupun di luar negeri, untuk mengamankan proses budidaya, produksi dan distribusi (marketing) narkoba. Kesimpulan ini terasa pahit sekali, tetapi benar dan tak terbantahkan.
 
Saya mencatat bahwa pada tahun 2011 Indonesia berjanji akan membebaskan diri dari jeratan narkoba pada tahun 2015. Ternyata jauh panggang dari api. Meski gagal, tidak ada klarifikasi yang keluar dari lembaga pemerintah yang dapat menjelaskan mengapa Indonesia gagal. Tahun 2013 Presiden SBY berucap satu masalah di tengah masyarakat, yakni sulitnya membedakan mana pengguna atau pencandu dan mana penjahat narkoba. Ungkapan itu kemudian mengarah pada sebuah permissiveness (pemaafan) untuk merealisasikan pembentukan badan khusus penyelenggara rehabilitasi korban narkoba (pecandu), dan ini adalah perintah UU Nomor 35 Tahun 2009 (pasal 54, 55, 103 dan 127) dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 4 Tahun 2010.  Meski pun bagi saya hal ini sangat terkesan sebagai sebuah pemanjaan pecandu, sembari menjauhi pokok masalah yang sesungguhnya, tetapi kelihatannya itu memang trend internasional, dan Indonesia dipaksa tunduk pada trend itu.
 
Isyarat Dato Mahathir Mohammad

Ketika member kuliah umum di Medan tahun lalu, mantan Perdana Menteri Malaysia Dato Mahathir Mohammad ditanyai oleh seorang anggota Kadinda Sumatera Utara sekaitan dengan data tingginya frekuensi dan jumlah narkoba yang diseberangkan dari Malaysia ke Indonesia. Sambil menjelaskan besaran uang yang beredar dalam pasar narkoba, penanya itu ingin sikap tegas dari Dato Mahathir Mohammad.
 
Dato Mahathir Mohammad hanya mampu berkeluh kesah, bahwa Malaysia dan Indonesia hanyalah dua dari banyak Negara yang saat ini benar-benar kewalahan atas bencana mendunia narkoba ini. Terbersit pesan dari jawaban itu bahwa jagalah negaramu, jangan cuma pandai membuat tudingan kepada Negara lain. Buatlah aturan main di dalam negerimu sesuai adat kebiasaan dan nilai-nilai yang sesuai pula dengan daya dukung bangsamu untuk keberhasilan perang melawan narkoba. Jangan tunduk kepada kemauan asing yang mana pun, yang belum tentu berniat baik untuk sejumlah tawaran kerjasama yang mereka ajukan termasuk dalam perang terhadap narkoba.***
 
Shohibul Anshor Siregar, dosen FISIP UMSU dan Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

 

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Opini