post image
KOMENTAR
LSM Rumah Kajian dan Advokasi Kerakyatan (Raya) Indonesia dikritik tidak detail dalam menganalisis tentang rokok kretek. Menurut Raya, rokok kretek bukan warisan budaya Indonesia.

Pengajar Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Ghifari Yuristiadhi menilai Pertama, LSM yang konon terima kucuran dana dari Bloomberg Initiative itu tidak punya bacaan yang luas sehingga tidak mengetahui bahwa ada tembakau yang varietasnya dari India dan Amerika Selatan, namun juga ada varietas lokal.

"Mereka perlu jalan-jalan juga ke Candi Borobudur untuk melihat relief yang menunjukkan bahwa tradisi konsumsi tembakau sudah ada sejak masa klasik di Nusantara. Jika Borobudur berdiri sekitar abad ke-8, maka tradisi konsumsi tembakau sudah ada sejak zaman itu. Dan, jauh lebih awal dari kedatangan Portugis di abad ke-15," jelas dia dalam keterangan pers di Jakarta.

Kedua, lanjut dia, konsep kepusakaan tidak hanya dilihat dari asal, namun dalam buku Use of Heritage (2006) dijelaskan bahw kepusakaan dilihat dari materialitas, usia, estetika, dan sifat monumental. Dia menegaskan, yang dikatakan sebagai warisan budaya bukan tembakaunya, tetapi tradisi mengolah tembakau menjadi kretek.

Menurutnya pula, peneliti Raya Indonesia sempit berpikir dan tidak memahami konsep pewarisan budaya. Jika membuka tujuh unsur kebudayaan, maka diketahui bahwa sistem teknologi dan sistem pencaharian menjadi bagian di sana.

Dijelaskan, hadirnya kretek sejak awal abad 20 sebagai sebuah temuan yang origin dari seorang bumiputera bernama Haji Djamhari di Kudus dengan mencampur tembakau dan cengkeh sehingga menjadi solusi untuk sesak nafas yang dirasakannya. Temuan tersebut yang kemudian diadaptasi banyak orang, dan menjadi bagian dari sistem pencaharianya yang turun temurun adalah bagian dari kebudayaan yang sebagaimana dimaksudkan oleh Koentjaraningrat.

"Sehingga jelas bahwa olahan tembakau dan cengkeh tak terbantahkan sebagai sebuah warisan budaya setidaknya bagi masyarakat yang hidup berpuluh-puluh bahkan beratus tahun tergantung padanya," pungkas salah satu penulis buku ‘Kretek Indonesia, dari Nasionalisme Hingga Warisan Budaya’.[rgu/rmol]

FOSAD Nilai Sejumlah Buku Kurikulum Sastra Tak pantas Dibaca Siswa Sekolah

Sebelumnya

Cagar Budaya Berupa Bangunan Jadi Andalan Pariwisata Kota Medan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Budaya