Keputusan pemerintah mengikutsertakan Indonesia dalam sejumlah perjanjian dan kerjasama ekonomi internasional, dianggap berdampak buruk bagi kaum buruh.
Kalangan aktivis menilai, lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) No 78 tahun 2015 tentang pengupahan, merupakan bukti, upah buruh ditekan demi mendukung masuknya modal asing dan liberalisasi perdagangan ke Indonesia.
Direktur eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti meminta pemerintah tidak terjebak pada perdagangan bebas yang sama sekali tidak bermanfaat bagi seluruh masyarakat serta cenderung meneguhkan perekonomian tanpa nilai tambah.
"Perjanjian perdagangan bebas tidak lagi berisfat bilateral, masih menjadi tren seperti blok-blok kawasan regional yang semakin masif," katanya di Jakarta.
Terlebih lagi, Indonesia sudah mengikuti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Saat ini, ada kecenderungan pemerintahan Presiden Jokowi tertarik memasuki Kemitraan Transpasifik (Trans Pacific Partnership/TPP).
Menurut Rachmi, perjanjian perdagangan bebas memiliki potensi dampak terhadap pelanggaran hak asasi manusia khususnya bagi kalangan buruh yang cenderung tidak dilindungi negara dalam konteks perdagangan bebas.
Selain itu, kondisi perekonomian Indonesia memburuk karena anjloknya sejumlah harga komoditas. "Dibutuhkan nilai tambah untuk menghadapi persaingan di kawasan, sehingga muncullah hilirisasi industri," katanya.
Di sisi lain, pemerintah merasa perlu menarik investasi sebesar-besarnya tetapi tanpa memikirkan mendalam mengenai mekanisme perlindungan terhadap dalam negeri. Rachmi melihat, perjanjian perdagangan bebas dengan sejumlah klausulnya merupakan alat negara-negara maju untuk melakukan eksploitasi terhadap buruh di negara-negara berkembang.
"Berdasarkan pengalaman sebelumnya, IGJ menilai implementasi perjanjian perdagangan bebas menjadikan Indonesia hanya sebagai pemasok bahan mentah dan menjadi pasar impor bagi produk barang dan jasa negara lain," tandasnya.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar menambahkan, PP Pengupahan merupakan bentuk penerapan rezim upah murah yang seharusnya dihapus karena tidak meningkatkan kesejahteraan buruh. "PP Pengupahan ini menghilangkan daya tawar para buruh padahal negara punya tanggung jawab membawa isu HAM baik secara personal maupun bersama ke dalam kebijakannya," katanya.
Dia juga menyesalkan adanya aksi kriminalisasi terhadap buruh dan juga pengacara buruh yang memprotes mengenai penerapan PP Pengupahan yang dinilai tidak memberikan keadilan upah bagi kaum pekerja.
Aktivis Federasi Perjuangan Buruh Indonesia, Azmir Zahara mengatakan, saat ini ada 26 aktivis buruh yang masih menjalani proses persidangan yang dinilai merupakan bentuk kriminalisasi buruh.
"PP Pengupahan merupakan produk aturan dari serangkaian proses liberalisasi ekonomi Indonesia, yang hanya mementingkan masuknya investasi ke dalam negeri," ujarnya.
PP tersebut, lanjut Azmir, hanya ingin melihat bagaimana investasi berjalan dengan lancar terkait dengan sektor perburuhan, tetapi tidak memandang bahwa upah yang diberikan kepada buruh masih belum memadai untuk kebutuhan sehari-hari. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA