Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI akan menyusun Peraturan KPU khusus yang mengatur mekanisme penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) di daerah otonomi khusus (otsus).
Kesepakan itu diambil dalam rapat koordinasi dengan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkopolhukam), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Jakarta, Selasa (19/4).
"Penyelenggaraan pilkada di daerah khusus disepakati untuk diatur khusus dalam PKPU lain. Jadi kami akan menambah 1 PKPU lagi. Dalam penyusunannya, kami akan mempertimbangkan undang-undang pembentukan provinsi masing-masing (daerah khusus) dalam kerangka NKRI," kata Ketua KPU, Husni Kamil Manik.
Dalam Pilkada 2017 mendatang, ada tiga daerah yang memiliki pengaturan khusus mengenai syarat dan mekanisme pemilihan kepala daerah, yakni Provinsi Aceh, Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, serta Provinsi Papua Barat. Husni menjelaskan, PKPU tersebut perlu disusun, karena dalam UU pembentukan provinsi khusus ada ketentuan terkait syarat pencalonan dan mekanisme tersendiri yang tidak diatur dalam UU 8/2015 tentang Pilkada.
"Untuk Provinsi Aceh misalnya, ada persyaratan seorang calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus bisa membaca Al Quran. Ini di dalam UU 8/2015 tidak ada, tapi di UU Pemerintahan Aceh ada," kata Husni.
Terkait partai politik, dalam UU 11/2006 tentang Pemerintah Aceh menyebutkan, partai lokal berhak mengajukan calon, sementara UU 8/2015 tidak mengenal partai lokal. Kekhususan juga terdapat di Papua, dimana untuk calon gubernur dan wakil gubernur harus masyarakat asli Papua, sedangkan ketentuan tersebut tidak diatur dalam UU 8/2015.
Hal serupa juga terdapat dalam UU 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dimana calon terpilih atau pemenag pilkada ditentukan melalui mekanisme perolehan suara 50 persen plus 1. Jika terdapat dua atau lebih peserta pemilihan, maka besar kemungkinan terjadi putaran kedua, sementara UU 8/2015 tidak mengatur hal itu.
"Apabila pasangan calon lebih dari dua, ada kemungkinan yang memperoleh suara tertinggi belum tentu 50 persen plus 1. Jika terjadi hal demikian, maka harus ada putaran kedua, sementara putaran kedua tidak diatur dalam UU 8/2015," terang Husni.
"Nah itu yang menjadi perhatian kami, sehingga kami perlu berdiskusi dengan lembaga terkait, sehingga kita memiliki pemahaman yang sama," jelas Husni usai rapat. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA