Saat ini, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dikatakan telah melanggar terkait izin dan kewenangan reklamasi teluk Jakarta. Padahal, semua itu sudah jelas ada UU-nya.
Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas memaparkan,
dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 tahun 1995 Tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta jelas tertuang soal kewenangan pemberian izin. Aturan yang diteken pada 13 Juli 1995 oleh Presiden Soeharto ini menyebut, kewenangan ada di gubernur DKI Jakarta.
Pasal 4 Keppres tersebut berbunyi: "Wewenang dan tanggung jawab reklamasi Pantura berada pada Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta".
Selain itu, dibentuk juga sebuah Badan Pengendali dengan ketua gubernur DKI, wakilnya wakil gubernur DKI, sekretaris ketua Bappeda dan sejumlah anggota.
Tugas Badan Pengendali adalah mengendalikan perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan reklamasi Pantura, mengendalikan penataan kawasan Pantura dan dalam melaksanakan tugasnya Badan Pengendali bertanggung jawab pada presiden.
Aturan ini, menurut Fernando, yang dijadikan dasar oleh Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama untuk menerbitkan sejumlah izin pelaksanaan bagi pengembang untuk membentuk pulau reklamasi. Ahok juga menggunakan kewenangan dari Keppres itu untuk mengatur soal tambahan kontribusi sebesar 15 persen dari nilai NJOP total lahan yang dapat dijual.
Belakangan, soal aturan kontribusi ini diperdebatkan oleh DPRD hingga berujung dugaan suap yang dikuak KPK. Namun, rupanya kewenangan Ahok menerbitkan izin dipersoalkan sejumlah pihak. Padahal dasarnya ada, yakni Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur yang diterbitkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pasal 72 disebutkan aturan di Keppres Nomor 52 Tahun 1995 tidak berlaku.
"Namun yang perlu dicatat, itu hanya yang berhubungan dengan persoalan tata ruang saja (lihat ayat c)," terang dosen Universitas 17 Agustus, Jakarta, ini.
Empat tahun kemudian, Perpres di atas diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 122 tahun 2012 Tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam pasal 16 disebutkan, untuk memperoleh izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi, pemerintah, pemerintah daerah dan setiap orang wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
Di sini peran menteri diperkuat, dengan ayat-ayat yang antara lain menyebutkan bahwa 'Menteri bisa memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Kawasan Strategis Nasional Tertentu, kegiatan reklamasi lintas provinsi, dan kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah.'
Pemberian izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Kawasan Strategis Nasional Tertentu dan kegiatan reklamasi lintas provinsi diberikan setelah mendapat pertimbangan dari bupati/ walikota dan gubernur. Sedangkan, gubernur dan bupati/walikota memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi dalam wilayah sesuai dengan kewenangannya dan kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah daerah.
"Nah, aturan kewenangan menteri ini kemudian diperkuat oleh peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 tentang perizinan reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil," urainya lebih lanjut.
Di pasal 5 disebutkan, kewenangan menteri ada di kawasan strategis nasional tertentu, perairan pesisir di dalam Kawasan Strategis Nasional, kegiatan reklamasi lintas provinsi, kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh Kementerian; dan kegiatan reklamasi untuk Obyek Vital Nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sementara gubernur hanya berwenang menerbitkan Izin Lokasi Reklamasi dan Izin Pelaksanaan Reklamasi pada perairan laut di luar kewenangan kebupaten/kota sampai dengan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan; dan kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah provinsi.[hta/rmol]
KOMENTAR ANDA