post image
KOMENTAR
Lafran Institute menggelar diskusi bertema 'Perang Asimetris, Monumen dan Kontestasi Simbol Abad 21' di sekretariatnya jalan Sei Petani, Medan Barat, Sabtu (16/4). Ahmad Arief Tarigan, salah satu kolomnismedanbagus.com menjadi penyaji materi dalam diskusi tersebut.

Arief mengungkapkan bahwa setelah usainya Perang Dunia II, berbagai negara raksasa mulai menjalankan perang model baru yaitu perang asimetris.

"Pasca meredupnya Perang Dunia II, muncul beberapa model perang baru misalnya proxy war, hybrid war, perang asimetris, perang mata uang, dll. Dengan rendahnya SDM yang dimiliki, Indonesia terjebak dalam perang asimetris. Perang asimetris ini adalah peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan yang berlaku. Banyak bentuk dari perang asimetris ini, untuk Indonesia bentuknya adalah perang simbol," kata Arief.

Secara merinci dan sistematis, Arief memaparkan bagaimana perang simbol bekerja di Indonesia.

"Simbol sering digunakan dalam bentuk sterotype, stigma, character assasination, dan makna tetap yang diarahkan kepada pihak lain yang disasarkan. Pada akhirnya, simbol berfungsi sebagai alat legitimasi atau pembenaran tindakan yang dilakukan.Baik disadari atau tidak, simbol akan mempengaruhi cara berpikir SDM Indonesia. Dengan adanya perang simbol oleh pihak luar, cara berpikir SDM Indonesia akan terbentuk sesuai dengan apa yang diinginkan pihak luar tersebut," papar Arief.

Arief juga mengungkap simbol-simbol yang menjadi alat perang pihak luar untuk menguasai Indonesia. Perang simbol mengeluarkan biaya yang relatif lebih murah dibandingkan perang-perang model lain.

"Banyak simbol yang digunahkan untuk mempengaruhi dan menguasai pola pikir SDM Indonesia, contohnya reformasi 98, monumen bom bali,baju kotak-kotak jokowi disandingkan dengan baju bergambar Soekarno, hingga gambar naga di logo ulang tahun Jakarta ke-488 di tahun 2015 lalu. Dengan kualitas SDM kita yang rendah, perang simbol menjadi lebih efektif dan murah bagi pihak asing untuk menguasai Indonesia," ungkapnya.

Diskusi ditutup dengan sebuah kesimpulan, yaitu untuk melawan perang simbol tersebut SDM Indonesia wajib meningkatkan kualitas dan produktif mengeluarkan karya-karya humanis.

"Benar kata Arief, untuk melawan perang simbol yang ternyata begitu hebat ini, SDM Indonesia harus memperbaiki kualitasnya, mengeluarkan banyak produk humanis," kata Delyuzar, Ketua Badan Pengurus Lafran Institute.[rgu]

Tak Ada Niat Baik Selesaikan Sengketa, Yayasan Pendidikan Al Hidayah Permainkan Warga

Sebelumnya

Pembatalan Kenaikan UKT oleh Menteri Nadiem Tidak Menyelesaikan Masalah

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Pendidikan