Mewakili nelayan tradisional Langkat, ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Langkat, Tazruddin Habitual alias Sangkot menyampaikan derita yang dirasakan kurang lebih 50 ribu nelayan tradisional saat menjadi salah satu penyaji materi dialog publik 'PLTU Batu Bara, Berkah dan Musibah di Provinsi Sumut' di ruang Bina Graha Bappeda Provinsi Sumut, Rabu (13/4).
Sangkot menyebutkan ada 17 ribu nelayan tradisional yang sedang terancam dan ada 50 ribu nelayan tradisional sedang menghadapi maut. Ancaman dan maut yang dihadapi para nelayan diakibatkan aktifitas pengelolaan batu bara dan operasi PLTU di daerah tangkapan nelayan Langkat.
"Ada 50 ribu nelayan tradisional yang sedang menghadapi maut dan 17 ribu terancam karena dampak penggunaan PLTU," kata Sangkot, Rabu (13/4).
Sejak 2012, telah terjadi pendangkalan di wilayah tangkap nelayan tradisional Langkat. Pendangkalan tersebut disebankan oleh pasir yang merupakan sisa dari bongkar muat batu bara. Sangkot mengatakan tempat pembuangan pasir yang dikelola oleh perusahaan batu bara dan PLTU tidak memiliki izin Amdal yang jelas.
"Tahun 2012 terjadi pendangkalan, itu lokasi pembuangan pasir perusahaan batu bara dan PLTU, itu juga tidak jelas amdalnya," ungkapnya.
Puncak derita yang dirasakan oleh para nelayan tradisional adalah saat di tengah laut yang juga merupakan daerah tangkapan nelayan tradisional ikut mendangkal.
"Akhirnya di tengah laut, kawan-kawan nelayan mendapati area tangkapnya mendangkal. Pindah ke sebelah, dan ternyata juga sudah digunakan untuk bongkar muat Batubara. Mohon kepada kawan2 aktivis lingkungan untuk membantu nelayan di sana menghindari maut ," tandas Sangkot. [hta]
KOMENTAR ANDA