Desakan mantan pendamping Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) agar langsung menjadi pendamping desa tanpa mekanisme seleksi dinilai melanggar aturan.
Pemerhati pemberdayaan masyarakat, Arief Subhan, menyayangkan langkah by pass yang dilakukan oleh para eks PNPM.
"Keinginan untuk menjadi pendamping tanpa mekanisme seleksi jelas tidak sesuai peraturan perundangan," katanya kepada wartawan, Sabtu (9/4).
Arief menjelaskan, Peraturan Menteri Desa Nomor 3/2015 pasal 23 secara jelas menyebut bahwa rekrutmen pendamping desa, pendamping teknis dan tenaga ahli, pemberdayaan masyarakat dilakukan secara terbuka. Sebab itu, eks PNPM yang ingin menjadi pendamping desa juga harus melewati mekanisme seleksi sebagaimana peraturan yang berlaku.
"Itu jauh lebih bijak dilakukan oleh teman-teman daripada memaksakan kehendak," tuturnya.
Tak berhenti di situ, terkait perbedaan pendamping desa dengan PNPM, menurut Arief, setiap pendamping desa harus mengetahui karakteristik desa yang dikawalnya.
"Ini penting karena semangat UU Desa adalah menjadikan desa sebagai subyek pembangunan. Ini berbeda dengan PNPM yang terkesan top down yang menempatkan desa sebagai objek pembangunan," jelasnya.
Arief mengamati bahwa dari segi kewajiban, tugas pendamping desa adalah mendampingi pemerintah dan masyarakat pedesaan. Sementara, PNPM hanya mengawal dana yang bergulir untuk desa.
Karenanya, Arief yang juga Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta berpesan untuk perbaikan pendamping desa ke depan. Baginya penting terus-menerus melakukan perbaikan sehingga pembangunan desa semakin baik dan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat.
Dalam kaitan ini, laporan yang dibuat Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS tahun 2013 yang mengutip Badan Pengawasan Keuangan dan pembangunan (BPKP) menemukan beberapa penyalahgunaan keuangan oleh PNPM.
BPKP mencatat bahwa dari tahun 2007 hingga 2012 terjadi tren peningkatan penyalahgunaan anggaran. Tahun 2007 ada 288 temuan dengan nilai Rp 1,8 miliar. Tetapi, tahun 2012 angkanya meningkat hingga mencapai Rp 29,388 miliar.
Buku yang berjudul Evaluasi PNPM Mandiri itu menulis bahwa kasus penyalahgunaan dana desa dalam bentuk yang paling umum adalah korupsi dengan penggelapan, mark up anggaran dan pembentukan kelompok fiktif. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA